Komedi Keberpihakan Kiky Saputri
JAKARTA - Stand up comedian, Kiky Saputri kembali menunjukkan spesialisasinya sebagai pe-roasting para pejabat dan politikus. Terakhir, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan jadi bahan. Yang menarik, Kiky mengungkap respons publik yang masih terombang-ambing sentimen politik praktis. Kadang ia disebut cebong. Lain waktu dituduh kampret. Siapakah Kiky sebenarnya? Keberpihakan mana yang ia pilih?
"Waktu roasting pak Fadli Zon, aku dibilang buzzer. Waktu roasting bu Susi dan jajaran menteri, aku dibilang kampret. Waktu nyanyi 'welcome to Indonesia' aku dikatain kadrun. Waktu roasting pak Anies, aku dikatain cebong. Jadi sebenarnya siapakah aku?"
Kiky menulis kalimat di atas lewat akun Twitternya. Jika menghimpun respons publik terhadap roasting-an Kiky pada macam-macam pejabat dan politikus, kita sejatinya melihat Kiky memainkan keberpihakan komedi yang ideal. Bukan netral. Tapi imparsial.
Kiky berpihak pada golongan yang secara relatif membutuhkan keberpihakan. Mau kanan, kek. Mau kiri, kek. Depan. Belakang. Sikat saja.
Sigmund Freud, dalam Jokes and Their Relation to the Unconscious (1960) menjelaskan dua fungsi komedi. Pertama, untuk melerai ketegangan dan kecemasan. Kedua, sebagai sarana kritik atau resistensi atas kondisi sosial dan politik.
Dikatakan Freud, lelucon satire, ironi, dan sarkasme adalah seni mengungkap kebenaran yang sulit diterima ketika disampaikan apa adanya.
Artikel yang dipublikasikan Remotivi dalam situs webnya menjelaskan lebih dalam soal fungsi pertama. Mengutip Scott Weems dalam Ha! The Science of When We Laugh and Why (2014), dijelaskan bahwa komedi melibatkan proses psikologis yang memancing manusia memberikan respons berlawanan dari kecemasan yang sebenarnya dirasakan.
Tawa mampu memicu pelepasan beta endorfin --senyawa kimia yang mengikis depresi-- dan HGH, yakni hormon pertumbuhan manusia. Itulah kenapa lewat komedi orang cenderung lebih mudah menertawakan penderitaan, ketimpangan sosial ataupun penindasan, meski dengan cara paling janggal.
Artikel tersebut juga menyinggung soal keberpihakan dalam komedi. Bagi kelompok yang terpinggirkan, komedi adalah sekoci untuk bertahan hidup.
Mengutip pemikir budaya Rusia, Mikhail Bakthin, ia pernah berkata bahwa suara yang kalah harus secara halus menanamkan kritik tanpa diketahui. Dan komedi adalah salah satu jalannya.
Hanya saja, sebagai produk budaya, komedi juga bagai pisau mata dua. Ia pun bisa digunakan oleh kelompok kuasa untuk melanggengkan status quo, bahkan menghajar kaum marjinal. Maka, komedi tak perlu netral. Tapi berpihak pada kebijaksanaan jadi penting.
Sejarah roasting dan aktualitas yang dibawakan Kiky
Komedi yang dibawakan Kiky Saputri adalah roasting. Teknik yang identik dalam praktik stand up comedy. Mengutip laman English Wikipedia, Roasting berasal dari kata "roast", yang berarti "memanggang".
Namun sebagai bahasa serapan, roasting diterjemahkan sebagai mengkritik atau menyampaikan teguran dengan keras. Laman Friars' Club, sebuah klub pribadi masyhur nan legendaris di New York City menjelaskan titik awal praktik roasting.
Sebagai istilah, roasting pertama kali muncul pada 1904 di klub tersebut. Tokoh seni dalam periode-periode awal sejarah roasting adalah Bob Hope, Groucho Marx, serta Buddy Hackett, yang merupakan anggota awal klub.
Sejak itu banyak aktor, musisi, serta komedian mempraktikannya. Dan, memang, sejak awal roasting memiliki kekuatan sebagai sarana pengantar kritik. Komedian-komedian, seperti Milton Berle, Johnny Carson hingga Jack Benny mempraktikkan roasting sebagai pemberontakan melawan struktur politik baku pada masa itu.
Dalam perkembangannya roasting lebih bebas konteks. Ia bisa diperagakan secara acak. Tak melulu harus kritik politik, sosial, dan muatan-muatan nilai lain. Ia bisa lebih mengambang ringan.
Meski begitu ada aturan umum yang lahir dalam roasting. Pertama, tak boleh ada unsur penghinaan rasial dalam roasting. Kemudian, roasting harus mempertimbangkan situasi kehidupan dan mengangkat keunikan dari pihak yang di-roasting.
Bagi Kiky, secara natural dalam benak publik ia tumbuh sebagai ahlinya me-roasting para penguasa. Seperti dituturkan Kiky dalam kicauannya, sejumlah tokoh politik dari lingkar kekuasaan pernah ia 'panggang' dalam panas komedi.
Sebut saja mantan Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri; mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti; mantan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara; Menteri Luar Negeri Retno Marsudi; serta politikus Partai Gerindra, Fadli Zon.
"Bapak Hanif Dhakiri ini keren banget karena dia adalah Menteri Ketenagakerjaan dan sekarang merangkap sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga. Bapak Hanif Dhakiri sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga menggantikan Imam Nahrawi yang tersandung kasus korupsi. Terkadang benar kata pepatah, kadang kebahagiaan itu tercipta, karena adanya penderitaan orang lain," Kiky kepada Hanif dalam acara Kerja Belum Selesai di Kompas TV.
"Mungkin salah satu tugas kecilnya adalah mengatur sinyal provider dan juga data internet. Jadi kalau kalian selama ini merasa kuota internet kalian cepat habis, internet kalian lemot, salahkan saja bapak ini," Kiky menunjuk Rudiantara dalam roasting-annya di acara yang sama.
"Saya pernah membaca artikel yang mencengangkan bahwa ibu Retno Marsudi punya hobi mengoleksi bandana. Ya Allah, imut banget kayak anak TK. Katanya Ibu Retno sudah koleksi bandana karena rambutnya suka berantakan. Mohon maaf ibu, itu rambut apa rumah tangga artis?" giliran Retno Marsudi.
"Yang keren dari Bu Susi adalah beliau mengabdikan diri berpuluh-puluh tahun untuk memajukan komunitas hasil laut terutama dari daerah kelahirannya di Jawa Barat. Seluruh nelayan di Pangandaran menyebut Bu Susi sebagai Putri Laut. Putri Laut, dari Pangandaran, Pantai Selatan, Jawa Barat. Mohon maaf ibu, apakah ibu titisan Nyi Roro Kidul?" Susi jadi korban terakhir Kiky di acara televisi itu.
Fadli Zon merasakan roasting-an Kiky di acara lain, yaitu program bertajuk Pojok Rumah Rakyat yang tayang di TVRI. Kepada Fadli Zon, Kiky berucap, "Beliau adalah anggota parlemen. Kerjaannya adalah kunjungan luar negeri, menghabiskan biaya negara. Tapi enggak apa-apa karena tujuannya mendamaikan negara lain. Padahal, Indonesia banyak konflik karena beliau.
Terakhir Kiky me-roasting Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam program teleivis Lapor Pak yang tayang di Trans7. Sejumlah kalimat panas dilemparkan Kiky, mulai dari Formula E, banjir Jakarta hingga singgungan soal Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
"Saya seneng banget ketemu pak Anies hari ini. Kalau ketemu Gubernur itu enggak bisa kayak ketemu orang biasa. Nyapanya itu beda. Kalau ketemu pak Andika, keluarga apa kabar? pak Wendi, anak-anak apa kabar? Kalau sama Gubernur itu enggak bisa biasa. Pak Anies, Formula E apa kabar?"
"Tapi pak Anies, ini saya enggak setuju. Karena banyak yang menghujat. Di mata masyarakat pak Anies selalu salah, terutama soal banjir. Padahal kita tahu banjir sudah ada sebelum pak Anies menjabat sebagai gubernur."
"Banjir, pak Anies salah. Banjir, pak Anies salah. Sampai pak Anies kesal dan beliau buat statement, 'banjir bisa surut satu hari dan hujan bisa dikendalikan.' Sekarang saya tahu, pak Anies bukan Gubernur tapi avatar pengendali air," roasting-an lain dari Kiky.
"Kita kedatangan tamu luar biasa! Seorang gubernur, sosok pemimpin hebat. Tepuk tangan dong, buat pak Ahok!" ucap Kiky.
Komedi yang kita butuhkan
Cebong-kampret adalah polarisasi yang dibentuk dan dipelihara, begitu menurut sosiolog Universitas Negeri Jakarta Achmad Siswanto ketika dihubungi VOI, Kamis, 11 November.
"Di era teknologi hari ini, semuanya ada proses sosial. Tidak bisa dilihat terjadi otomatis. Ada social process. Cebong-kampret itu kan menjadi konsumsi publik. Tentu ada social process di balik itu kan. Melalui buzzer atau berbagai institusi yang ada. Penguatan itu terus dibangun. Dipelihara, yang basisnya itu sinisme," tutur Achmad Siswanto.
"Sinisme" jadi kata kunci untuk menjawab kenapa pembelahan sosial cebong-kampret ini begitu langgeng meski jelas sudah tak relevan. Carilah di Google, siapa nama Menteri Pertahanan juga Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif kita.
Sinisme memiliki sifat dasar sebagai pengikis rasionalitas dan pemikiran-pemikiran logis. Sinisme juga yang membuat polarisasi cebong-kampret ini jadi sampah. Padahal kita boleh saja menerima perpecahan ini selama dijalani lewat adu gagasan atau ide.
"Saya melihat pembelahan sosial identitas cebong dan kampret ini terjadi pada 2014, yang kemudian berlanjut sampai hari ini. Yang menarik adalah dia baru ada di level identitas. Bahwa cebong itu seringkali diasosiasikan dengan pilihan presiden pak Jokowi. Sementara kampret yang pilihan presidennya bukan pak Jokowi."
"Yang belum nampak itu justru gagasan. Ide, yang dimunculkan dalam simbolisasi cebong-kampret itu. Jadi ini masih sebatas label. Dan ini disayangkan karena belum menampilkan pertarungan gagasan," Siswanto.
Dan keberpihakan komedi oleh Kiky lah yang kita butuhkan dalam situasi sosial semacam ini. Keberpihakan Kiky pada konteks mengajarkan kita untuk lebih objektif melihat iklim politik. Semua soal apa, kenapa, bagaimana. Lupakan siapa.
"Kiky ini melatih publik bagaimana kritisisme, nalar kritis, pertanyaan yang sifatnya konstruktif dibangun lewat tontonan yang ringan. Remeh temeh. Kita diajak mikir."
"Artinya publik juga rindu dengan komedian selevel Dono, Kasino, Indro. Memang mereka lahir dari akademik. Lahir dari diskusi. Komedi yang ditampilkan dihasilkan dari diskusi yang panjang. Pembacaan literatur yang dalam tapi disampaikan dengan bahasa yang ringan.
"Tertawalah sebelum tertawa itu dilarang."
*Baca Informasi lain soal SOSIAL atau baca tulisan menarik lain dari Yudhistira Mahabharata.