Kericuhan di Jerman Dipicu Teori Konspirasi COVID-19

JAKARTA - Unjuk rasa menuntut berakhirnya pembatasan sosial akibat COVID-19 berlangsung ricuh di Jerman. Unjuk rasa ini dipicu oleh keyakinan peserta aksi tentang COVID-19 sebagai teori konspirasi.

Unjuk rasa awalnya berlangsung damai. Namun, ketika pengunjuk rasa menolak membubarkan diri dari Gerbang Brandenburg dan menetap di sana hingga larut malam, polisi pun mengambil tindakan pembubaran massa. Kericuhan tak terhindar. Batu-batu dilempar, kembang api dibakar, dan kendaraan-kendaraan polisi dirusak.

Tercatat, 45 polisi terluka, di mana tiga di antaranya dirawat intensif karena terkena pecahan kaca di wajah. Sementara, 133 pengunjuk rasa ditangkap atas kericuhan Sabtu, 1 Agustus itu. Melansir CNA, 20 ribu pengunjuk rasa yang turun ke jalan merupakan kelompok kiri dan kanan. Kebanyakan dari mereka dilaporkan menolak pakai masker dan menjaga jarak fisik.

Mereka bahkan berteriak, "Kami adalah gelombang kedua" dan menyebut COVID-19 sebagai "teori konspirasi terbesar saat ini." Di Jerman, kelompok yang mulai meyakini pandemi sebagai rekayasa elite global mulai meluas.

Menteri Kesehatan Jerman Jens Spahn turut mengomentari demonstrasi itu. "Ya, demonstrasi memang mungkin dilakukan saat COVID-19 mewabah. Tetapi tidak seperti ini," katanya.

"Jarak, aturan kebersihan dan masker berfungsi untuk melindungi kita semua. Jadi kita harus memperlakukan satu sama lain dengan hormat," tambahnya.