JAKARTA - Suami dari Andewi, Toni Tamsil ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi Timah yang merugikan negara sebesar Rp 300 triliun. Toni Tamsil ditangkap pihak kejaksaan pada tanggal 25 Januari 2024 dan dititipkan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Tuatunu, Kota Pangkalpinang.
Pria asal Kecamatan Koba, Bangka Tengah ini ditahan setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015-2022.
Berdasarkan penelusuran VOI, Toni Tamsil merupakan adik dari Thamron alias Aon. Berdasarkan situs AHU, AON merupakan pemilik manfaat dari CV Venus Inti Perkasa (VIP) dan komisaris PT Menara Cipta Mulia (MCM). Kedua perusahaan tersebut diduga sengaja didirikan guna menampung aliran dana korupsi dari PT Timah. Dan berdasarkan keterangan dari pihak kejaksaan, kakak kandung dari Toni Tamsil yakni AON alias Thamron akan mendapatkan uang lebih 3.6 triliun.
Penetapan Toni sebagai tersangka berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Prin-9/F.2/Fd.2/01/2024 tanggal 25 Januari 2024 Jo dan Surat Penetapan Tersangka (PIDSUS-18) Nomor: TAP-09/F.2/Fd.2/01/2024 tanggal 25 Januari 2024. Usai ditangkap pria berusia 70 tahun ini dititipkan Kejaksaan Tinggi di Lapas Kelas IIA Tuatunu, Kota Pangkalpinang.
BACA JUGA:
Kepala Keamanan dan Ketertiban (Kamtib) Mulya dan atas seizin Kalapas Kelas IIA Tuatunu, Kota Pangkalpinang Badarudin, mengaminkan titipan kejaksaan tersebut. Menurut Badarudin, Toni Tamsil dititipkan tepat pukul 22.00 WIB. "Yang nama titipan itu kan, benar ada. Tahanannya masih punya hak segala sesuatunya dari pihak penahan, dalam hal ini Kejaksaan Tinggi,” kata Mulya.
Delapan bulan mendekam dijeruji besi lapas, tepat di awal bulan September, Toni Tamsil resmi menyandang status terpidana korupsi setelah vonis di Pengadilan Negeri (PN) Pangkalpinang. Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pangkalpinang, Rokhmad Budiarto, memutuskan Toni bersalah dalam upaya merintangi penyidikan atau obstruction of justice kasus PT Timah Tbk. Tamsil diputuskan telah melanggar Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan didakwa dengan hukuman 3 tahun penjara dan denda Rp5.000.
"Menyatakan Terdakwa Toni Tamsil alias Akhi tersebut di atas, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja perintangan penyidikan perkara korupsi sebagaimana dalam dakwaan alternatif ke satu," kata hakim.
Hukuman ini lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU). Jaksa penuntut umum sebelumnya mendakwa Tamsil dengan Pasal 21 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 dan Pasal 22 dalam Undang-Undang yang sama. Toni Tamsil dijadikan tersangka oleh penyidik karena merintangi penyidikan dalam proses penggeledahan dan penyitaan alat berat. Alat berat itu diantaranya berupa 53 eksavator dan dua buldoser. Tak hanya itu, penyidik juga mendapatkan perlawanan dan yang bersangkutan berupaya untuk menghilangkan barang bukti yang diduga tersimpan di dalam handphonenya.
JPU yang meminta agar Toni dijatuhi pidana penjara tiga tahun dan enam bulan serta pidana denda sebesar Rp200 ribu dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama tiga bulan.
Kasus korupsi timah yang merugikan negara Rp300 triliun juga menyeret beberapa nama besar seperti suami artis Sandra Dewi, Harvey Moeis dan wanita kaya raya di Pantai Indak Kapuk (PIK), Helena Lim. Tuntutan yang rendah untuk Toni Tamsil mendapatkan berbagai kritikan dari publik. Pihak kejaksaan dinilai tidak serius dalam menangani kasus ini.
Tuntutan Rendah, Ini Respon dari Kejaksaan Agung dan Kuasa Hukum Toni Tamsil
Kejaksaan Agung (Kejagung) buka suara terkait terdakwa Toni Tamsil alias Akhi yang divonis 3 tahun penjara dan denda Rp 5.000 terkait kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk pada 2015-2022.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Harli Siregar menyatakan masih mempertimbangkan untuk menentukan langkah selanjutnya terhadap putusan tiga tahun penjara yang dijatuhkan kepada terdakwa dalam kasus korupsi tata niaga timah, Toni Tamsil.
"JPU (jaksa penuntut umum) masih menggunakan sikap pikir-pikir terhadap putusan tersebut dalam waktu tujuh hari setelah putusan menurut hukum acara," kata Harli, Selasa 3 September Harli memastikan bahwa Kejaksaan akan mengabarkan lebih lanjut apabila JPU telah mengambil sikap apakah akan mengajukan banding atau tidak.
Tim kuasa hukum terdakwa kasus perintangan penyidikan dugaan korupsi dalam tata niaga komoditas timah di PT Timah Tbk, Toni Tamsil menegaskan klien mereka tidak ikut menikmati uang korupsi Rp 300 triliun.
Kuasa hukum Toni, Johan Adhi Ferdian mengatakan, kliennya hanya didakwa melakukan perintangan penyidikan kasus PT Timah di Bangka Belitung. Jhohan mengaku keberatan dengan narasi di media sosial dan media massa yang menyebut kliennya hanya dihukum 3 tahun penjara dan membayar uang pengganti Rp 5.000 padahal korupsi Rp 300 triliun.
"Klien kami atau Toni Tamsil ini bukan terdakwa pada pokok perkara pidana korupsi dengan dugaan merugikan negara Rp 300 triliun sebagaimana yang berkembang belakangan ini," ujar Johan.
DPR Minta Jaksa Panggil Jokowi Sebagai Saksi
Berdasarkan surat dakwaan jaksa penuntut umum, tertulis kerugian keuangan negara akibat kasus pengelolaan timah ini mencapai Rp 300 triliun. Perhitungan merujuk ke dalam laporan hasil audit kerugian keuangan negara di kasus timah yang tertuang dalam Nomor PE.04.03/S-522/D5/03/2024 tertanggal 28 Mei.
Dan ditambah dengan keterangan saksi yakni mantan Kepala Unit Produksi PT Timah Tbk untuk wilayah Bangka Belitung, Ali Samsuri yang menyebutkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta PT Timah mengakomodasi masyarakat yang menjadi penambang ilegal. Ali bersaksi untuk Helena Lim, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani selaku Direktur Utama PT Timah Tbk periode 2016-2021.
Dua keterangan di atas membuat Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PKS, Mulyanto, meminta Jaksa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat memanggil Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk dimintai keterangan terkait kasus korupsi PT. Timah yang merugikan negara Rp 300 triliun.
"Jaksa harus berani mendalami fakta pengadilan berupa keterangan Ali Samsuri, yang merupakan saksi untuk terdakwa eks Direktur Utama PT Timah Tbk Mochtar Riza Pahlevi Tabrani dan kawan-kawan," kata Mulyanto.
Menurut Wakil Ketua Fraksi PKS ini, dengan dipanggilnya Jokowi fakta persidangan akan menjadi lebih terang. Pasalnya, timah yang di beli merupakan hasil penambangan ilegal di kawasan milik PT. Timah sendiri. Alhasil terjadi korupsi ratusan triliun.
“Klarifikasi ini penting agar fakta persidangan menjadi terang-benderang. Karena dalam persidangan tersebut secara tegas dinyatakan oleh saksi yang mantan Kepala Unit Produksi PT Timah Tbk Wilayah Bangka Belitung, bahwa Presiden Jokowi minta tolong bagaimana caranya agar tambang timah yang ilegal ini diubah menjadi legal,” ungkapnya.
Ditambahkan Mulyanto, dalam prakteknya, PT Timah memberi kesempatan pada mitra pemilik Izin Usaha Jasa Pertambangan (IUJP) membeli bijih timah dari penambang ilegal. Padahal, bijih timah tersebut diambil dari wilayah izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah.
“Karena itu Pengadilan harus memanggil Jokowi untuk mengungkap fakta yang sebenarnya,” jelas Mulyanto.