Bagikan:

JAKARTA – Pertengahan pekan lalu, hampir seluruh kota di Indonesia diwarnai aksi demonstrasi publik yang menentang revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah alias UU Pilkada. Penyebabnya adalah DPR enggan mematuhi Putusan Mahkamah Konstitusi No 60 dan 70 yang meringankan syarat pengusungan calon kepala daerah.

Bicara soal UU Pilkada, sebenarnya Indonesia pernah menerapkan beberapa mekanisme pengisian jabatan kepala daerah, sebelum menganut sistem pemilihan kepala daerah secara langsung seperti saat ini.

Retno Saraswati, dalam artikelnya di jurnal Masalah-masalah Hukum yang berjudul “Calon Perseorangan: Pergeseran Paradigma Kekuasaan dalam Pemilu” tahun 2011, menyebutkan empat sistem pemilihan kepala daerah yang pernah digunakan di Indonesia sebelum pemilihan langsung.

Pertama, sistem penunjukan atau pengangkatan oleh pusat. Mekanisme ini digunakan sejak masa Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, Jepang, dan periode awal setelah kemerdekaan. Paska kemerdekaan, pemerintah menggunakan mekanisme ini berdasarkan UU 1/1945, UU 22/1948, dan UU 1/1957.

Kedua, mekanisme penunjukan yang digunakan berdasarkan Penetapan Presiden 6/1959 jo Penetapan Presiden 5/1960, UU 6/1956, dan UU 18/1956, atau yang dikenal dengan era Dekrit Presiden. Selain itu, mekanisme ini juga diberlakukan berdasarkan Penetapan Presiden 6/1959 jo Penetapan Presiden 5/1960 disertai alasan “situasi yang memaksa”.

Ketiga, mekanisme pemilihan perwakilan yang merupakan perwujudan UU 5/1974. Dengan mekanisme ini, pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD yang kemudian presiden akan menentukan calon kepala daerah terpilih.

Keempat, mekanisme pemilihan perwakilan secara murni, yang diterapkan berdasarkan UU 18/1965 dan UU 22/1999. Disebut dengan pemilihan perwakilan secara murni karena kepala daerah dipilih oleh DPRD tanpa intervensi pemerintah pusat.

Setelah UU 22/1999, lahirlah UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini memberikan perubahan yang sangat besar, yaitu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan (pasal 24 ayat 5). UU No. 32 Tahun 2004 ini menjadi tonggak sejarah, karena pertama kalinya Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih secara langsung oleh rakyat.

UU 22/2014 Mengembalikan Pilkada Langsung ke DPRD

Sepuluh tahun usai penerapan UU No. 32 Tahun 2004, terbitlah UU No. 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. UU ini dapat dikatakan sebagai koreksi atas UU No. 32 Tahun 2004 yang membuat publik euforia atas pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dipilih rakyat secara langsung. UU No. 22 Tahun 2014 ini memberi kewenangan kembali kepada DPRD untuk memilih Kepala Daerah dan wakilnya seperti diatur dalam pasal 28 ayat (1) bahwa pemungutan suara, perhitungan suara, dan penetapan hasil pemungutan suara dalam pemilihan dilaksanakan dalam rapat paripurna DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

UU No. 22 Tahun 2014 ini sendiri disahkan menjelang akhir masa jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Saat pembahasan, usulan untuk mengubah mekanisme pilkada langsung kembali diwakilkan melalui DPRD dilontarkan Koalisi Merah Putih (KMP) yang dalam Pilpres 2014 mendukung pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Radjasa.

Mantan anggota Panitia Kerja RUU Pilkada, Abdul Malik Haramain menceritakan, setelah Pilpres 2014, mayoritas parpol yang tergabung dalam KMP berubah sikap terkait mekanisme pemilihan kepala daerah. Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional, dan Partai Pesatuan Pembangunan disebut ingin kepala daerah dipilih oleh DPRD. “Setelah pilpres mungkin karena konstelasi politik berubah dan sebagainya, tiba-tiba mereka inginnya berubah menjadi dipilih oleh DPRD,” ujarnya, Senin 26 Agustus 2024.

Menurut Malik, hanya satu parpol anggota KMP yang tidak berubah sikap, yakni PKS yang tetap pada keinginan semula agar pemilihan kepala daerah dipilih langsung. Keinginan tersebut serupa dengan koalisi pendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla, yakni PDI Perjuangan, Partai Hanura, dan Partai Kebangkitan Bangsa.

Aksi menolak DPR
Aksi menolak DPR 'membangkang' putusan MK terkait revisi UU Pilkada juga digelar di depan Gedung MK Jakarta pada Kamis 22 Agustus. (Rizki A-VOI)
 

“Pastinya saya enggak ngerti kenapa berubah sikap. Saya kira hasil pilpres ikut memengaruhi KMP. Mungkin mereka ingin memperkuat dan meneruskan koalisi mereka di nasional sampai daerah,” imbuhnya.

Dalam pembahasan RUU Pilkada saat itu, lanjut Malik, ada tiga opsi mekanisme pemilihan kepala daerah yang mencuat. Pertama, pasangan gubernur, wali kota, dan bupati dilipih langsung yang didukung PDIP, PKS, HANURA, PKB dan Pemerintah. Kedua, pasangan gubernur, wali kota, dan bupati dipilih DPRD yang didukung Demokrat, Golkar, PAN, PPP, dan Gerindra. Ketiga, gubernur dipilih langsung, tetapi bupati dan wali kota dipilih DPRD yang didukung DPD.

Wakil Ketua Komisi II DPR RI periode 2009-2014 dari Fraksi Partai Demokrat, Khatibul Umam Wiranu mengungkapkan, pihaknya memang menyetujui opsi kepala daerah dipilih oleh DPRD. Alasannya, selain akan menghemat biaya, kepala daerah yang dipilih sepaket dipandang sering tak sejalan.

“Partai Demokrat mendukung pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota dipilih oleh DPRD sebagai representasi dari suara masyarakat. DPRD sebagai wakil yang dipilih secara langsung bisa menjadi penyalur aspirasi masyarakat tentang siapa pemimpin yang diharapkan,” tuturnya.

Dia mengutip UUD 1945 Pasal 18 ayat (4) yang berbunyi, “Gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis” sebagai dasar hukum menyetujui opsi tersebut. Pasalnya, dalam pasal itu tidak ada kalimat yang menyatakan bahwa pilkada harus dilaksanakan secara langsung, tetapi dipilih secara demokratis. “Dengan begitu, baik langsung maupun tidak langsung merupakan persoalan teknis yang sama sekali tidak mengurangi makna dari demokratis itu sendiri,” tambah Umam.

Telebih, kata dia, dalam praktik penyelenggaraan pilkada langsung selama ini, hampir tidak ada pilkada yang tidak melahirkan masalah, mulai dari ketegangan sosial, kerusuhan, sampai berujung di Mahkamah Konstitusi. Hampir semua tahapan melahirkan ketegangan dan kerawanan, baik sosial maupun politik. Belum lagi, praktik politik uang yang mereduksi nilai-nilai moral di tengah masyarakat.

Pengesahan UU No. 22 Tahun 2014 ini pun sontak memantik protes dari publik. Berbagai elemen civil society hingga mahasiswa melakukan demonstrasi secara masif baik secara langsung maupun melalui berbagai media sosial untuk menolak UU No. 22 Tahun 2014. Penolakan secara masif itu akhirnya membuahkan hasil.

Pada tanggal 2 Oktober 2014, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan dua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) sekaligus. Pertama, SBY menandatangani Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Perppu ini sekaligus mencabut Undang-Undang No. 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang mengatur bahwa kepala daerah dipilih oleh DPRD.

Sebagai konsekuensi penerbitan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 dan untuk memberikan kepastian hukum, SBY menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Inti Perppu tersebut adalah menghapus tugas dan wewenang DPRD untuk memilih kepala daerah.

Perppu No. 1 Tahun 2014 ini pada akhirnya disahkan menjadi UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang.

Foto: Dok. Antara
Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Tiongkok meminta DPR RI agar dapat menaati putusan Mahkamah Konstitusi No. 60/PUU-XXII/2024 dan No. 70/PUU-XXII/2024 Foto: Dok. Antara
 

Putusan MK No. 60 dan 70 Tahun 2024 Mengubah Persyaratan di UU 10/2016

UU No. 1 Tahun 2015 ini mengembalikan kembali pemilihan Kepala Daerah dan wakilnya dipilih secara langsung oleh rakyat. Sesuai dengan dinamika perkembangan politik, UU 1/2015 mengalami empat kali pembaruan. Pembaruan pertama melalui UU 8/2015 tentang Perubahan atas UU 1/2015. Pembaruan kedua terjadi melalui UU 10/2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU 1/2015.

Pembaruan ketiga dilakukan melalui Perppu 2/2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU 1/2015. Perppu 2/2020 ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 4 Mei 2020. Produk hukum ini mengatur perlunya penundaan pelaksanaan pilkada serentak di tengah pandemi. Perubahan keempat terjadi melalui UU 6/2020 tentang Penetapan Perppu 2/2020 Menjadi Undang-Undang.

Dengan demikian, UU 6/2020 merupakan aturan terbaru sebagai dasar penyelenggaraan pilkada serentak di tengah pandemi Covid-19. Undang-Undang ini ditandatangani Presiden Joko Widodo pada tanggal 11 Agustus 2020 tanpa banyak mengubah ketentuan syarat pencalonan kepala daerah sebagaimana tercantum dalam UU 10/2016. Teknis tahapan dan pelaksanaan pilkada di tengah pandemi selanjutnya dituangkan dalam peraturan KPU.

Semula, Pilkada Serentak 2020 akan dilaksanakan pada tanggal 23 September 2020. Sayangnya, karena pandemi Covid-19 belum mereda, pelaksanaan pilkada dilaksanakan pada 9 Desember 2020. Pilkada Serentak 2020 dilaksanakan di 270 daerah, dengan perincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.

Kini, menjelang Pilkada Serentak 2024, aturan dalam UU Pilkada pun kembali mengalami perubahan. Penyebabnya tak lain adalah Putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024 yang mengubah Pasal 40 ayat (3) UU No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, dan Putusan No. 70/PUU-XXII/2024 yang menguji pasal 7 ayat (2) huruf e UU No. 10 Tahun 2016.

Sempat diabaikan DPR yang enggan mengakomodir Putusan MK dalam rapat Badan Legislasi, Rabu 21 Agustus, gelombang protes yang dilakukan di DPR dan MK, Kamis 22 Agustus akhirnya memaksa DPR membatalkan pengesahan revisi UU Pilkada. Minggu, 25 Agustus, KPU, DPR dan pemerintah mengesahkan Peraturan PKPU yang mengakomodir Putusan MK sebagai dasar pelaksanaan Pilkada Serentak, November 2024 mendatang.