JAKARTA - Taring Kejaksaan Agung seoalah mendadak 'menyala' semenjak lembaga itu berhasil mengungkap kasus-kasus besar. Di tahun 2024 saja, Kejaksaan Agung setidaknya menangani beberapa kasus kakap, seperti korupsi timah pada Juli 2024 yang merugikan negara hingga 300 triliun dihitung dari 2015-2022.
Kemudian disusul pengungkapan kasus korupsi impor gula yang melibatkan eks pejabat Kemendag, Tom Lembong. Terakhir kasus korupsi mafia peradilan dalam kasus korupsi Ronald Tanur.
Aktifnya Kejaksaan Agung mengungkap korupsi level kakap akhir-akhir ini menjadi penghiburan tersendiri bagi masyarakat, di tengah tak berdayanya KPK mengungkap kasus korupsi yang memang menjadi mandat khusus lembaga ini. Dalam beberapa waktu terakhir, kinerja Kejaksaan Agung, khususnya Gedung Bundar yang berada di Jalan Bulungan Jakarta Selatan --sebutan kantor Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus--, patut diapresiasi. Lembaga penegakan hukum ini nampak aktif dalam mengungkap sejumlah kasus besar yang berdampak luas bagi masyarakat dan ekonomi Indonesia.
Kasus seperti korupsi tambang timah, yang nilainya sangat besar mencapai 300 triliun itu memang diperlukan jadi faktor penggetar bagi para pelaku dan mafia, dengan tampil Kejaksaan mengungkap kasus ini seperti ada geliat penegakan hukum. Menjadi pertanyaan mengapa kasus sebesar itu selama ini luput dari KPK, padahal KPK telah dilengkapi alat dan pendanaan yang cukup memadai.
BACA JUGA:
Lemahnya KPK akhir-akhir ini, juga terlihat dari semakin menurunnya Indeks Persepsi Korupsi Indonesia. Menurut data terbaru yang dirilis Indonesia Corruption Watch (ICW) dari Transparency International Indonesia, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia turun di 2024, dari semula 110 menjadi 115.
Lemahnya KPK disebabkan karena sejumlah factor, antara lain adanya perubahan regulasi dari kewenangan KPK. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, yang merupakan hasil revisi atas UU KPK sebelumnya, mengubah beberapa kewenangan KPK, termasuk mekanisme penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan. Salah satu perubahan signifikan adalah keharusan KPK berkoordinasi dengan Dewan Pengawas dalam hal penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan. Hal ini sedikit banyak membatasi fleksibilitas KPK, menindak korupsi.
Lemahnya KPK memberantas korupsi, menjadi peluang Kejaksaan memiliki ruang lebih luas melibas korupsi. Minimal memperlihat komitmen Gedung Bundar maupun Kejaksaan dalam pemberantasan korupsi tanpa intervensi serta mengedepankan integritas, transparansi, dan profesionalisme dalam menangani kasus-kasus besar. Hal itu dinilai lebih meningkatkan reputasi Jaksa Agung, Sinitiar Burhanuddin kepada bos barunya, Presiden Prabowo.
Yang sempat mendapat catatan minus sepanjang periode 2020 di mana karena kasus penyuapan yang melibatkan jaksa Pinangki Sirna Malasari saat menangani kasus buronan korupsi hak tagih Bank Bali, Joko S Tjandra. Sehingga Kejaksaan Agung di bawah kepemimpinan, Burhanuddin kala itu dianggap tidak mampu menunjukkan profesionalitas dalam menangani perkaranya. Sehingga ICW dan pegiat anti korupsi sempat mendesak Presiden Jokowi untuk memberhentikan Burhanuddin sebagai Jaksa Agung. "Mungkin itu yang jadi melecut Burhanuddin untuk bisa segera menunjukan prestasinya," ujar ketua Ketua Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) dihubungi VOI, 3 November.
Boyamin yang sempat mendesak Burhanuddin dicopot sebagai Jaksa Agung. Namun sekarang mengaku mengapresiasi kinerja Jaksa Agung terutama Jampidsus karena bisa bangkit mengungkap banyak kasus besar dalam pemberantasan korupsi. Bahkan lebih giat dan moncer dibanding KPK.
Beda Ideologi Pemberantasan Korupsi
Mengapa Kejaksaan bisa membalik posisi lebih kuat dari KPK dalam pemberantasan korupsi menurut Boyamin, karena kejaksaan telah menemukan bentuknya dalam pemberantasan korupsi. Dari sisi ideologis pemberantasan korupsi mereka lebih berkonsentrasi di pasal 2 dan 3 UU 31/1999 Tindak Pidana Korupsi. Penggunaan pasal ini bertumpu pada upaya menemukan dan mencari bukti.
Sementara Ideologi KPK mengandalkan Operasi Tangkap Tangan (OTT), atau menerapkan pasal 5 dan 6 dan lebih mengandalkan pasal penyuapan. OTT itu istilahnya menciptakan alat bukti. OTT itu menunggu orang memberikan uang kalau tidak ada pemberian uang tidak ada alat bukti, sehingga tak jadi di tangkap, bukan mencari atau menemukan bukti.
Dalam kasus korupsi timah ini misalnya, Tim Penyidik Kejaksaan telah menetapkan 21 tersangka atas pasal 2 dan 3 UU tipikor. Nilai Kerugian perkara dugaan korupsi ini berdasar hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) senilai 300 triliun. Kasus bermula ketika pada 2018, tersangka ALW, Direktur Operasi PT Timah Tbk, bersama MRPT, Direktur Utama Timah dan tersangka EE, Direktur Keuangan Timah menyadari pasokan bijih timah yang dihasilkan lebih sedikit dibanding perusahaan smelter swasta lainnya yang menambang timah ilegal di wilayah IUP PT Timah Tbk.
Namun bukannya melakukan penindakan tetapi malah bekerja sama, untuk membeli timah ilegal itu dari IUP PT Timah Tbk. Sehingga merugikan negara hingga 300 triliun. Selain 4 tersangka itu Kejaksaan menetapkan 21 tersangka dalam korupsi itu termasuk sejumlah korporasi dua nama pengusaha Helena Lin dan Harvey Moeis yang diduga menjadi perantara korupsi timah.
Mereka dikenakan pasal Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Selain kasus Korupsi tambang berturut-turut diungkap kasus skandal impor gula yang menyeret nama Tom Lembong. Kasus impor gula yang menyeret eks Menteri Perdagangan di era Jokowi. Korupsi izin impor gula itu berawal pemberian impor gula kristal ke sejumlah perusahaan. Kasus ini mengemuka dugaan adanya permainan harga dan izin yang diberikan tersangka ke pihak-pihak tertentu untuk melakukan impor.
Gedung Bundar dengan cepat menindaklanjuti kasus ini dan menetapkan 2 orang tersangkanya, yakni Tom Lembong selaku Menteri Perdagangan 2015-2016 dan Charles Sitorus selaku mantan Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI). Mereka dibidik kasus kolusi dan penyalahgunaan wewenang.
Langkah tegas ini menunjukkan bahwa Kejaksaan tidak ragu untuk memeriksa pejabat publik, karena telah mengantongi dua alat bukti meski kerugian negara masih dihitung BPKP, yang diperkirakan mencapai 400 miliar.
Belakangan kasus suap yang melibatkan Ronald Tanur yang telah jadi sorotan dan bukti konkret dari kinerja Gedung Bundar dalam memberantas korupsi dan mengungkap mafia hukum di Tanah Air. Kasus itu bermula dari pengadilan Surabaya yang menangani kasus penganiayaan menimpa wanita bernama Dini Sera oleh kekasihnya bernama Ronald Tanur. Kasus penganiayaan yg berbuntut hilangnya nyawa korban ini sempat menjadi perhatian masyarakat. karena pelakunya dihukum bebas padahal proses pengadilan diketahui bukti-bukti yang mendukung sehingga menimbulkan reaksi dan protes masyarakat.
Kasus itu menimbulkan protes di mana mana. Sehingga memicu langkah KY melakukan pemeriksaan dan investigasi, hasilnya ditemukan ada proses pemberian uang kepada 3 hakim yang menyidangkan kasus Tanur dan menemukan aliran dana agar terdakwa bisa bebas, sebesar 20 miliar. Sehingga para hakim kemudian diseret ke pengadilan. Namun tidak sampai disitu.
Penelusuran lebih jauh oleh Kejaksaan Agung mengungkap adanya keterlibatan oknum mantan Kepala Badan Pendidikan Pelatihan MA, Zarof Ricar sebagai makelar perkara Bersama pengacara terdakwa, bernama Lisa Rahmat. Terungkap untuk mengamankan kasus Tanur tidak saja menyogok hakim Pengadilan Surabaya, diproses kasasi mereka menyuap hakim. Saat kejaksaan menggeledah kediaman Zarof Ricar di Senayan ditemukan duit sebesar 1 Triliun dalam berbagai mata uang dan emas seberat 51 kilogram.
Masyarakat berharap kasus-kasus yang menyasar jaringan "makelar kasus" atau mafia hukum yang melibatkan pejabat di instansi hukum lainnya. Misalnya, kasus suap Ronald Tanur yang mengungkap keterlibatan mantan pegawai Mahkamah Agung, menunjukkan bahwa Kejaksaan siap menghadapi mafia peradilan yang selama ini sering merusak sistem hukum Indonesia. Dengan berani mengungkap kasus-kasus seperti ini, Kejaksaan berusaha memutus mata rantai praktik korupsi dalam lembaga hukum itu sendiri.
Namun Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Muhammad Isnur menyatakan apresiasinya kepada Kejaksaan atas aksinya mengungkap mafia hukum, hanya catatannya penangkapan itu tidak hanya menyasar orang yang sedang tidak berkuasa. Dia berharap penangkapan juga menyasar pihak-pihak yang masih menjabat atau berkuasa atau orang partai atau DPR yang masih aktif. "Sehingga itu bisa menunjukan Kejaksaan tidak dalam intervensi," ujar Isnur kepada VOI.