Bagikan:

JAKARTA - Langkah Kejaksaan Agung (Kejagung) menyidik dugaan korupsi impor gula periode 2015-2016 dan menyeret mantan Menteri Perdagangan Thomas Lembong perlu diapresiasi. Namun kasus import gula ini hanya bagian kecil dari karut marutnya kebijakan import di Indonesia.

Demikian hal ini disampaikan Pengamat hukum dan pegiat antikorupsi Hardjuno Wiwoho kepada wartawan, Minggu, 3 Oktober.

Oleh karena itu rasa-rasanya pemerintah perlu memperluas cakupan penyidikan untuk masalah import komoditas lainnya yang berpotensi merugikan negara.

“Kejagung memang sedang melakukan penyidikan terhadap kasus impor gula, tapi ini seharusnya menjadi momentum untuk mengusut lebih luas. Bukan hanya gula, tetapi impor lain yang berpotensi kerugian negara. Misalnya impor beras (demuurage) yang beberapa waktu lalu ramai di publik,” kata Hardjuno.

Hardjuno menilai, praktik impor komoditas yang merugikan negara bukan hal baru. Hardjuno menambahkan dampak dari praktik impor yang tidak transparan tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga berdampak langsung pada perekonomian nasional dan para petani.

“Impor gula, beras, dan kedelai yang berlebihan jelas memukul harga pasar komoditas lokal. Akibatnya, petani kehilangan pasar dan harga produk dalam negeri turun drastis,” ujarnya.

“Ketergantungan pada impor tanpa kontrol yang ketat hanya akan menambah kerentanan pangan kita. Kita perlu memperkuat ketahanan pangan dari dalam negeri,” tukasnya.

Pada tanggal 3 Juli 2024, Studi Demokrasi Rakyat (SDR) menyerahkan laporan potensi kerugian negara atas impor beras yang ugal-ugalan, ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Laporan itu menyangkut dugaan mark up (selisih harga) impor 2,2 juta ton beras senilai Rp2,7 triliun dan kerugian negara akibat demurrage impor beras senilai Rp294,5 miliar.

Namun hingga saat ini, laporan tersebut belum ada kabarnya. Terkesan KPK 'masuk angin' atau malah laporan itu masuk ke dalam keranjang sampah di gedung KPK.