Bagikan:

Selamat datang kembali di Tulisan Seri khas VOI. Dari hari ke hari semakin banyak anak muda yang mahir menimba cuan. Usia tak lagi relevan menjadi takaran kesuksesan termasuk dalam hal kekayaan. Artikel perdana dari Tulisan Seri "Muda, Kaya, dan Berbahagia" akan membongkar industri apa yang sebetulnya paling banyak mencetak para miliarder? 

Hampir setiap tahun jumlah orang kaya di Indonesia meningkat. Menariknya, saat ini mereka yang tergolong sukses tak lagi dipatok umur. Semakin hari semakin banyak saja anak muda yang bisa dibilang sukses dan menjadi kaya. Pertanyaannya, industri apa sebetulnya yang paling banyak mencetak orang kaya? 

Tahun lalu, firma konsultan Capgemini merilis laporan orang terkaya dari seluruh dunia. Dalam laporan bertajuk World Health 2020 itu, tercatat jumlah orang kaya di Indonesia meningkat tiga persen dari 129 ribu orang pada 2018 menjadi 134 ribu.

Pada 2018, jumlah orang kaya Indonesia adalah yang terbanyak se-Asia Tenggara. Namun laporan tahun lalu, posisinya seimbang dengan Thailand yang juga mencatatkan jumlah orang terkaya sebanyak 134 ribu orang.  

Para orang terkaya versi World Wealth Report adalah mereka yang memiliki kekayaan di atas 1 juta dolar AS atau Rp14,1 miliar. Yang dihitung adalah harta yang bisa diinvestasikan (investable asset), seperti seperti uang, tabungan, dan saham.

Contoh yang paling dekat saat ini adalah pendiri perusahaan aplikasi Gojek cum Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim. Saat umur 25 tahun lulusan Universitas Harvard ini sudah mendirikan Gojek. Dan diumurnya yang sudah 36 tahun ini, kekayaan bersihnya sudah mencapai Rp1,2 triliun.

Selain Nadiem orang muda tajir lainnya adalah pendiri Tokopedia William Tanuwijaya. Pria kelahiran Pematang Siantar, Sumatera Utara, 11 November 1981 ini sudah mulai merintis perusahaan yang kini telah menjadi unicorn sejak 2007 silam. Saat itu usia William baru menginjak 25 tahun. Usia yang sama dengan Nadiem ketika mendirikan Gojek.

Mulanya William kesulitan mencari investor untuk menanamkan modal pada perusahaan yang hendak ia kembangkan. Setelah dua tahun meyakinkan banyak orang, Usahanya baru membuahkan hasil. Kini, lebih dari satu dekade lalu, valuasinya perusahaan yang ia rawat sejak lahir mencapai lebih dari 1 miliar dolar Amerika Serikat (AS). Sedangkan kekayaan bersihnya mencapai 345 juta dolar AS. 

Founder Tokopedia, William Tanuwijaya (Sumber: Wikimedia Commons)

Lalu masih dari industri sejenis, ada nama Achmad Zaky, pendiri Bukalapak, yang termasuk anak muda terkaya di Indonesia. Saking tajirnya, pria kelahiran 24 Agustus 1986 (34 tahun) ini pernah masuk 150 orang terkaya Indonesia versi Majalah Globe Asia.

Kita bisa menyebut sederet orang sukses mulai dari yang paling terkenal sampai yang tak terlalu terkenal seperti pendiri platform donasi daring Kitabisa.com, M. Alfatih Timur; pendiri Lifepal, Benny Fajarai; hingga bos HijUp, Diajeng Lestari. Dan mereka kebanyakan berasal dari industri yang sama: teknologi. Meskipun memang terbagi ke dalam ceruk yang berbeda. 

Mungkin teknologi memang industri yang paling mentereng dan terlihat sangat menjanjikan untuk meraup miliaran uang. Namun, bila melihat data, Wealth-X Billionarire Census 2020, justru industri teknologi berada di urutan ketujuh dari industri yang paling banyak mencetak miliarder. 

Sementara, laporan tersebut mencatat industri paling banyak menghasilkan miliarder adalah perbankan dan keuangan sebanyak 19,8 persen. Nomor duanya adalah dari industri konglomerat sebesar 12,8 persen.

Kemudian di urutan ketiga ada properti sebanyak 7,6 persen. Keempat, makanan dan minuman 5,7 persen. Kelima kesehatan 5,7 persen, keenam manufaktur 5,6 persen, ketujuh teknologi 5,6 persen, kedelapan organisasi nirlaba dan sosial 4,9 persen, kesembilan perhotelan dan hiburan 4,5 persen, dan kesepuluh fesyen 4,3 persen. 

Pertanyaannya, bila melihat gembar-gembor di ruang publik, dan banyaknya kisah sukses penemu perusahaan startup, mengapa bukan industri teknologi yang pertama paling banyak mencetak miliarder? 

Infografik (Raga Granada/VOI)

Ilusi industri teknologi

Laporan Wealth-X, menurut pengamat pemasaran Inventure Consulting Yuswohady masuk akal. Sebab salah satu alasan terbesarnya, yakni sepanjang 2020 dunia diterjang pandemi COVID-19. "Karena resesi, pandemi, uang jadi mahal," katanya saat diwawancara VOI.

Kalau dulu investor suka "bakar uang", kata Yuswohady sekarang banyak para pemilik-pemilik modal yang menahan uang mereka. "Masuk akal, kalau dulu investor bakar duit seperti contoh Bukalapak, Tokopedia, uang itu murah untuk mengakuisisi pelanggan dan meningkatkan nilai di IPO. Itu enggak cuma di Indonesia, tapi seluruh dunia."

Selain itu Yuswohady juga menjelaskan industri usaha teknologi atau startup yang baru bermunculan sekitar 2015-an sebetulnya belum jelas keuntungannya. Ia mencontohkan perusahaan-perusahaan multi nasional seperti layanan transportasi berbasis aplikasi Uber dan platform penyediaan rumah tinggal sementara, Airbnb yang menurutnya belum jelas dan banyak yang belum IPO. 

"Memang heboh awalnya banyak startup, tapi sampai 2019 hasilnya tak kunjung terlihat. Itu menjadi potret buruk perusahaan digital era 2015-an," kata Yuswohady. 

Bahkan yang di dalam negeri seperti Gojek sekali pun, kata Yuswohady performa bisnisnya belum terbukti. Menurutnya, kendati memang sudah ada yang mulai ambil untung, itu tak seberapa.

"Seperti Gojek aja misalnya di Indonesia, itu belum kelihatan untungnya. Tapi kalau pun sudah untung pun belum seberapa. Tokopedia, Bukalapak, kemudian Traveloka, Tiket.com, dengan adanya pandemi tambah rugi," bebernya.

Hal ini juga yang menurut Yuswohady membuat fenomena "uang murah" mulai meredup sejak 2020. "Dan investor kembali ke sektor konvensional," kata dia.

Ikuti Tulisan Seri edisi ini: "Muda, Kaya, dan Berbahagia"