JAKARTA – Bergabungnya putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep ke Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mencuatkan kembali rumor bahwa Jokowi tengah membangun oligarki dan politik dinasti demi kelangsungan kekuasaannya.
Sebelum Kaesang berlabuh di PSI, putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka dan menantunya, Bobby Nasution lebih dulu terjun ke gelanggang politik di Pilkada 2020. Keduanya kemudian terpilih menjadi Wali Kota Solo dan Medan.
Terpilihnya Gibran dan Bobby bisa dikatakan sebagai embrio terbangunnya politik dinasti Jokowi. Meski pencalonan Gibran dan Bobby di pilkada dijamin oleh konstitusi, posisi Jokowi yang masih aktif sebagai presiden memunculkan kekhawatiran terjadinya konflik kepentingan.
Selain itu, terpilihnya Gibran dan Bobby menjadi wali kota juga memunculkan potensi dominasi keluarga Jokowi di kancah politik nasional. Terlebih, jika ada keluarga Jokowi lainnya yang memutuskan terjun ke dunia politik.
Kegaduhan politik sempat terjadi saat Kaesang – saat itu belum masuk PSI – digadang-gadang menjadi bakal calon wali kota Depok oleh parpol yang dikenal dengan jargon “Jokowisme” tersebut. Belum lagi ketika beberapa kader PSI mengajukan gugatan uji materi untuk mengubah persyaratan menjadi calon wakil presiden dari 40 tahun menjadi 35 tahun.
Hal tersebut ditengarai untuk memuluskan jalan Gibran menuju kursi RI-2 di tahun 2024. Apalagi, sudah menjadi rahasia umum bila putra sulung Jokowi itu dilirik oleh bakal calon presiden Prabowo Subianto maupun masuk radar PDI Perjuangan yang mengusung Ganjar Pranowo.
Menurut pengamat politik dari UGM, Mada Sukmajati, politik dinasti merupakan fenomena biasa dan belum tentu menjadi jaminan sukses bagi penerus dinasti tersebut. Sebab, secara teoritis politik dinasti digunakan sebagai strategi pertahanan setelah seorang petahana tidak menjabat lagi serta bisa menjadi strategi untuk memperluas dukungan politik.
“Ini bisa dalam konteks untuk mengamankan kerabatnya yang sedang menjadi petahana atau dalam konteks yang lebih jangka panjang, yang bersangkutan sendiri yang akan memperebutkan jabatan,” ujarnya, Senin 3 Oktober.
Jika menilik ke belakang, kalaupun benar Jokowi berupaya membangun politik dinastinya, hal itu bukanlah sesuatu yang aneh. Pada periode kedua kepresidenannya, Jokowi beralih dari kabinet ramping menjadi kabinet gemuk. Dia beralasan berniat mengakomodasi semua kepentingan atas nama kepentingan rakyat. Tak cukup dengan enam partai pendukungnya di parlemen, Jokowi menambah Partai Gerindra sebagai bagian dari Kabinet Indonesia Maju.
Pada artikel yang terbit dalam South East Asia Research berjudul “Revisiting the Rise of Jokowi: The Triumph of Reformasi or An Oligarchic Adaptation of Post-clientelist Initiatives?” tahun 2016, Yuki Fukuoka dan Luky Djani menilai bahwa sejak awal Jokowi sudah bukan lagi sosok yang dicitrakan ke publik selama kampanye, yakni mengutamakan kepentingan rakyat di atas partai.
“Hanya beberapa bulan menjalankan pemerintahan, presiden baru Indonesia, Jokowi, mulai mengecewakan pendukungnya yang berharap dia bisa meningkatkan kualitas demokrasi. Berkebalikan dengan janji kampanye tentang pemerintahan yang ‘bersih’ dan ‘profesional’ tanpa tukar guling, Jokowi memberikan posisi strategis kepada kepentingan oligarki dan mengindikasikan keputusannya justru dilandasi oleh partai pendukungnya,” tulis mereka.
Peneliti Lowy Institute, Ben Bland dalam tulisannya berjudul “Man of Contradictions: Joko Widodo and the Struggle to Remake Indonesia” tahun 2020 menilai bahwa politik balas budi mungkin menjadi salah satu cara ampuh Jokowi memuluskan kekuasaannya. Dia mencontohkan langkah Jokowi merangkul Prabowo bisa dianggap sebagai upaya pengkhianatan kepada demokrasi.
Dengan dirangkulnya Prabowo, otomatis Partai Gerindra akan mendukung pemerintahan Jokowi. “Lantas siapa yang bisa menjadi oposisi yang seharusnya ada dalam sistem demokrasi? Dia melakukan itu untuk melumpuhkan oposisi,” tulis Bland.
Direktur Buffet Institute of Global Affairs, Jeffrey A. Winters dalam risetnya pada tahun 2013 yang berjudul “Oligarchy and Democracy in Indonesia” menilai bahwa Jokowi adalah produk oligarki politik itu sendiri. Menurutnya, popularitas dan kemenangan Jokowi dalam Pilkada DKI Jakarta 2012 terjadi karena dukungan dari kalangan mahasiswa hingga asosiasi ibu rumah tangga.
Namun, kata Winters, bagian penting kisah demokratis ini dimungkinkan oleh gerakan oligarki di mana kekuasaan kaum berduit menempatkan Jokowi di hadapan para pemilih. Meski mendapat dukungan akar rumput, Jokowi bertarung dalam pemilihan gubernur bukan karena inisiatif atau gerakan politik akar rumput.
Oligarki kekuasaan ala Jokowi bisa terlihat dari satu nama, Luhut Binsar Panjaitan. Luhut adalah salah satu menteri yang mengenal Jokowi paling lama. Hubungan mereka bukan sebatas pemerintahan, tapi juga bisnis. Luhut tak pernah absen dalam dua periode pemerintahan Jokowi kendati posisinya terus berganti.
Dia pernah menjabat Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Kepala Staf Kepresidenan, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, hingga jabatan lain seperti Wakil Ketua Komite Kebijakan Pengendalian COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional.
Politik dinasti dan oligarki ala Jokowi juga bisa tercermin saat mantan Wali Kota Solo itu menyatakan akan cawe-cawe di pilpres 2024. Dari tiga poros yang ada saat ini, ada dua bacapres yang memiliki kedekatan dengan Jokowi, yakni Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo. Jangan lupakan juga, meski Anies Baswedan mengusung tema perubahan, pendampingnya Muhaimin Iskandar merupakan Ketua Umum PKB yang notabene masih menjadi partai pendukung pemerintahan Jokowi.
Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago menilai langkah cawe-cawe Jokowi karena menginginkan saham dari pemenangan capres. Bahkan, dirinya terlihat tak ambil pusing apabila harus berdiri di antara dua kaki agar tetap bisa terlibat dalam keputusan strategis usai berakhirnya masa kepemimpinannya ke depan.
“Gibran disebut sebagai bakal cawapres Prabowo. Itu yang membuat persamaan kepentingan mereka makin kuat, mengindikasikan bahwa Prabowo, Erick maupun Ganjar tetap akan ikut garis arahan politik Jokowi,” ungkapnya.
Menurut dia, langkah Jokowi bukan merupakan aib, sebab penting bagi mereka yang akan mengakhiri jabatannya untuk memiliki saham yang bisa dijaga mengingat banyak politisi yang tidak siap apabila setelah tak punya legitimasi, maka akan kehilangan tangan dinginnya.
Selain itu, dalam analisanya, jika membaca gestur politik, meski Prabowo merupakan ketua umum partai, Jokowi dinilai masih mempunyai peran besar untuk mengatur tempo permainan dalam menyambut pilpres. Terkait dukungan terhadap bacapres, Pangi meyakini bahwa Jokowi tak mau menaruh telur di keranjang yang sama.
“Bisa saja 50 persen ke Prabowo dan Ganjar 50 persen, nanti di ujung baru all out habis mendukung salah satu. Intinya Jokowi ingin menjaga gawang agar elektabilitas Ganjar dan Prabowo tetap aman terkendali,” tuturnya.
BACA JUGA:
Pangi melihat bahwa Jokowi tengah melakukan manuver politik untuk menunjukkan bahwa kendali politik penuh ada di tangannya, dan terlihat sangat menikmati permainan politik yang diracik olehnya. “Sehingga, Ganjar dan Prabowo tetap di dalam kendali penuh beliau, sebab pada 14 Februari usai Pemilu 2024 Jokowi masih presiden, operator politiknya tetap Prabowo dan Ganjar, tetapi Jokowi masih mengendalikan semuanya, meskipun kekuasaan mulai menurun karena tak lagi menjabat sebagai presiden,” imbuhnya.
Tahun 2020 silam, Jokowi menepis tudingan tengah membangun politik dinasti ketika Gibran dan Bobby berkontestasi di pilkada. Presiden RI ketujuh ini berdalih, politik dinasti jika dirinya menunjuk anggota keluarganya untuk menduduki jabatan politik. “Misalnya saya menunjuk anak saya jadi menteri. Tapi kalau seorang keluarga, anak, misalnya, mendaftarkan diri, berpartisipasi dalam pilkada, yang menentukan rakyat bukan Jokowi,” kilahnya.
Demikian pula saat Kaesang bergabung dan didapuk menjadi Ketua Umum PSI. Jokowi menegaskan jika putra bungsunya itu sudah dewasa dan mampu mengambil keputusan sendiri. Kendati demikian, dia mengaku merestui keputusan Kaesang terjun ke politik.
“Soal Kaesang jadi ketum, tanyakan ke PSI dan Kaesang. Kaesang minta doa restu orang tua, saya restui. Di dalam keluarga terbiasa kalau sudah berkeluarga apalagi istri, harus mandiri dan tanggungjawab. Yang diputuskan dihitung risiko, baik dan buruknya,” tukas Jokowi.
Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini menyatakan, pada dasarnya semua orang berhak untuk terjun ke dunia politik. Tapi, pada kondisi tertentu politik dinasti akan menjadi contoh buruk bagi budaya dan ekosistem politik.
Terlepas dari tepisan yang dilontarkan Jokowi, Titi menilai bahwa saat Gibran dan Bobby mencalonkan diri sebagai kepala daerah, fenomena ini bisa dikatakan sebagai awal kelahiran dinasti politik baru dari klan Jokowi.
“Secara moral menjadi sesuatu yang disayangkan oleh banyak kelompok. Karena ternyata kekuasaan itu menggoda, dan godaan itu sulit ditepis oleh lingkungan di sekitar Jokowi,” kata Titi