JAKARTA - Penduduk Pulau Rempang dan Galang merupakan keturunan dari prajurit atau laskar kesultanan Lingga yang sudah mendiami ketiga pulau itu sejak tahun 1720 masehi. Dikutip dari buku Tuhfat Al-Nafis, di masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah I dalam perang Riau satu pada tahun 1782 - 1784 prajurit-prajurit yang berada di ke tiga pulau itu juga turut melawan belanda.
Di Perang Riau ke dua tahun 1784-1787 mereka menjadi prajurit dari Sultan Mahmud Riayat Syah(SMRS) biasa disebut Sultan Mahmud III. Anak cucu dari para prajurit-prajurit itu kini masih menetap di Rempang, Galang, Bulang dan menjaga adat istiadat yang diberikan para orang tua secara turun menurun.
Keberadaan penduduk Pulau Rempang juga terdapat di beberapa arsip kolonial Belanda seperti "De Battam-Archipel" di De Indische Gids (1882) yang menjelaskan seorang peneliti dari Belanda yang menemukan suku Rempang ada di Pulau Rempang, Kepulauan Riau. Peneliti Belanda lainnya disebutkan bernama P.Wink dalam laporannya Verslag van een bezoek aan de Orang-Darat van Rempang op 4 Februari 1930" dalam artikel Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde deel LXX (1930).
Berdasarkan hal di atas menegaskan masyarakat Rempang di Pulau Rempang sudah menetap ratusan tahun di Kepulauan Riau. Pulau Batam yang termasuk di Kepulauan Riau mulai ditetapkan sebagai daerah industri pada masa pemerintahan orde baru.
Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973, menetapkan kepulauan Batam sebagai daerah industri. Penanganan, pengembangan dan pengusahaan Pulau Batam disebut sebagai Badan Pengawas Daerah Industri Pulau Batam dan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam. Penanggungjawab Pulau Batam ini diangkat langsung oleh presiden.
Sangat disayangkan pemerintah pusat dan Pemerintah Kotamadya Batam melalui BP Batam secara arogan memobilisasi aparat bersenjata (TNI, Polri, dan Satpol PP). Aparat bersenjata yang tergabung dalam tim terpadu terkesan secara paksa mengusir masyarakat di Pulau Rempang dari tanah dan akar budaya mereka. Langkah penguasa untuk mengosongkan Pulau Rempang dengan menggunakan aparat keamanan mirip dengan gagasan klasik yang dikeluarkan sosiolog Charles Wright Mills dalam bukunya yang berjudul Power Elite (1956).
Di dalam buku itu, Mills menjelaskan adanya transisi di Amerika sehabis perang dunia II. Di mana saat itu rakyat Amerika merasakan great depression dalam bidang ekonomi yang berdampak terhadap tatanan sosial, maupun politik. Penyebab depresi hebat tersebut akibat kolaborasi antara militer, pengusaha dan pemerintah dalam mengamankan sumber daya tertentu.
Batam Rempang dan Galang (Barelang)
Pulau Rempang merupakan salah satu pulau yang kecil di Kepulauan Riau. Sebelum administrasinya masuk ke Batam, rempang merupakan bagian dari Kabupaten Bintan. Untuk sampai ke rempang, masyarakat harus mengenakan perahu karena melewati lautan. Pulau Rempang mulai diketahui saat Presiden BJ Habibie membangun beberapa jembatan yang salah satunya dikenal sebagai Golden Gatenya Indonesia. Jembatan itu dikenal masyarakat di sana sebagai Jembatan Habibie.
Jembatan Habibie selesai dibangun pada tahun 1997. Jembatan-jembatan itu menghubungkan 3 pulau yakni Batam, Rempang dan Galang, dan saat ini dari ketiga kota disingkat menjadi Barelang. Jembatan ini mempermudah wisatawan dari Batam untuk ke Rempang dan Galang melalui jalur darat. Rempang dan Galang merupakan pulau yang memiliki keindahan laut yang bagus. Untuk sampai ke Rempang dan Galang melalui jalur darat menempuh satu setengah jam dengan menggunakan roda empat.
Namun di pertengahan bulan Agustus 2023, ketenangan masyarakat melayu yang tinggal di Pulau Rempang telah terusik. Kampung Pasir Panjang, Sembulang Raya Mereka terancam diusir dari tanah kelahiran dan warisan budaya leluhur pejuang akan hilang demi investasi. Ada perusahaan kaca dari China bernama Xin yi dan PT Makmur Elok Graha (MEG) akan mengubah Rempang menjadi kawasan industri yang akan dikenal dengan nama Rempang Eco City.
Nilai investasinya cukup jumbo, 381 triliun. Dan pemerintah pusat berharap nilai investasi itu bisa menjadi mesin ekonomi yang baru bagi Indonesia. Sayangnya, impian besar untuk kemaslahatan tersebut tidak ditunjang langkah yang baik oleh BP Batam. Waktu deadline 30 hari usai penandatangan MoU dengan PT MEG membuat Kepala BP Batam dan sekaligus Wali Kota Batam Muhammad Rudi tancap gas tanpa memikirkan 700 kepala keluarga yang tinggal di pulau itu.
Berdalih meneruskan perjanjian kerja sama yang terjadi di Tahun 2004, Rudi meminta warga di rempang dan galang untuk mau direlokasi tempat tinggalnya. Tidak ada sosialisasi atau pemberitahuan dari jauh hari sebelumnya kepada masyarakat rempang dan galang. Diajak bertemu dan berdialog, Rudi terkesan sulit untuk ditemui, hingga pecah demonstrasi pertama yang dilakukan aliansi pemuda melayu di depan Kantor BP Batam.
Demonstrasi damai yang disampaikan aliansi pemuda melayu tidak menuai hasil. BP Batam bersama aparat dan tim terpadu tetap bersikukuh untuk melakukan patok tanah atas rakyat di rempang dan galang. Hal ini membuat amarah masyarakat adat yang sudah tinggal ratusan tahun di Rempang.
Menurut salah satu warga Tanjung Banon, Azrul, penjagaan kampung dilakukan secara serempak oleh kaum laki-laki dan membuka dapur umum.
"Kaum laki-laki baik yang muda dan tua menjaga di simpang dapur enam, sementara kaum wanitanya memasak lalu dibagikan kepada yang sedang bertugas jaga. Penjagaan itu terjadi mulai tanggal 18 Agustus malam," kata Azrul kepada VOI, Jumat (22/9).
"Alasan menjaga secara bersama itu dilakukan sejak ditemukannya salah satu aparat yang mengawal tim patok tanah dari BP Batam. Sempat ada perdebatan dan berakhir mereka gagal untuk melakukan patok di tanah. Tidak ada sosialisasi atau pemberitahuan seperti komunikasi kepada kami sebagai warga dari pihak pemerintah maupun BP Batam. Dan kami para warga tidak mau memberikan ijin kepada BP Batam untuk melakukan patok di tanah kami," tambahnya.
Perlawanan Rakyat Rempang
Azwir mengatakan setelah peristiwa itu baru ketua RT dan RW dikumpulkan dan diberikan penjelasan bahwa akan ada investor asing yang akan masuk ke pulau dan warga akan dipindahkan dalam satu bulan. Waktu satu bulan itu di mulai dari tanggal 28 Agustus- 28 September beredar dan membuat warga Rempang, Galang menjadi bingung di mana mereka akan tinggal. Merasa tidak tenang, warga meminta Wali Kota Batam Muhammad Rudi untuk datang menemui warga dan berdiskusi.
"Wali Kota datang bersama dengan pasukan Brimob dan tim terpadu pada tanggal 20 Agustus 2023 dengan total 12 truk dan 2 helikoter di atas untuk menyampaikan sosialisasinya kepada warga. Kedatangan wali kota bersama pasukan keamanan 12 truk itu mungkin dianggap warga sudah melawan dan terjadi gejolak. Dari laut ada pasukan airut, bayangkan suasananya yang dialami warga, kami seakan musuh atau kelompok yang berbahaya saja," katanya.
Dalam pertemuan itu tidak ada warga yang hadir. Karena tidak ada yang hadir maka petugas ASN yang ada di kelurahan dan kecamatan yang hadir dengan menggunakan pakaian bebas. Seolah-olah pertemuan antara Wali Kota Batam dengan warga Rempang dan Galang berhasil terlaksana. Setelah itu semua aparat satu persatu datang dan berusaha menembus penjagaan yang dilakukan warga Rempang dan Galang.
Aksi yang dilakukan aparat tersebut membuat warga Rempang dan Galang itu merasa takut sehingga membuat penjagaan semakin ketat. Padahal sebelumnya warga dari Rempang dan Galang itu sangat takut dan malas berurusan dengan pihak keamanan. Akibat ketakutan yang memuncak warga akhirnya menjadi berani dan nekat untuk menjaga lahan dan rumahnya masing-masing.
Tanggal 23 Agustus terjadi aksi demonstrasi pertama di BP Batam yang dilakukan oleh Aliansi Pemuda Melayu. "Kami hadir dengan jumlah hampir empat ribu orang. Kami tetap menolak realokasi tanpa syarat. Demo berlangsung dengan damai namun apa yang kami inginkan tidak tercapai. Pak Wali hanya menyampaikan bahwa dirinya meneruskan perjanjian yang terjadi di 2004,"katanya Azrul kepada VOI.
Azwir mengatakan pada prinsipnya warga tidak keberatan dan silakan membangun atau berinvestasi namun kampung yang mereka tempati harus tetap ada. Setelah demonstrsi pada tanggal 23 Agustus penjagaan di setiap kampung juga mulai diperketat. Tanggal 6 September warga diundang oleh BP Batam, Pemko Batam dan pimpinan daerah di Kota Batam untuk berdialog terkait Rempang Eco City.
"Dialog terjadi secara sepihak saja. Mereka (BP Batam, Pemkot Batam) hanya menyampaikan telah terjadi kesepakatan antara BP Batam dengan investor dalam hal ini PT Makmur Elok Graha (MEG) untuk membangun Rempang Eco City dan meminta warga suka atau tidak suka harus mau dipindahkan tempat tinggalnya di dapur tiga dengan tipe rumah 45 yang berdiri di atas tanah lima ratus meter persegi,"katanya.
Besoknya pada tanggal 7 September, warga didatangi aparat dan tim terpadu yang berjumlah seribu orang yang dipimpin oleh Kapolresta Barelang Kombes Pol. Nugroho. Warga merasa tidak didengar dan berusaha menghadang ribuan aparat yang datang. Di saat itu baru terjadi bentrokan antara warga dan aparat secara besar di jembatan empat.
Masyarakat Rempang dihajar aparat keamanan yang tergabung di dalam tim terpadu tanpa pandang bulu dengan gas air mata dan water canon. Warga melawan dan mulai menutup akses jalan dengan memotong beberapa pohon dan 2 kontainer untuk diletakkan di tengah jalan. Gesekan itu terjadi hingga memasuki dua sekolah yang kebetulan tidak jauh dari Jembatan Empat.
Korban yang terkena gas air mata salah satunya seorang bayi. Bayi itu sempat tidak bergerak dan di awal sempat disangka telah mati. Alhamdulillah itu tidak terjadi. Bayi itu berhasil diselamatkan di Rumah Sakit Embung Fatimah di Jalan Letjen R Suprapto. Dan sore harinya bayi itu siuman,"katanya.
"Kumpulan warga itu terpusat di Jembatan Empat dan Simpang Dapur Enam. Warga yang berkumpul di Jembatan Empat itu pecah akibat tembakan gas air mata tadi. Mereka yang pecah berusaha menghambat kedatangan aparat ke simpang dapur enam dengan menebang pohon dan kontainer untuk diletakkan di tengah jalan. Warga sudah tidak mampu lagi melawan karena aparat datang dengan senjata yang lengkap. Perlawanan terakhir warga itu ada simpang raya sampai dengan jam setengah sembilan malam. Aparat baru menarik pasukan dari lokasi kejadian pada jam sepuluh malam untuk kembali ke Batam, "katanya.
Setelah ribuan aparat kembali ke Batam, warga kembali berkumpul dan membuat kesepakatan untuk besok pagi tidak melakukan perlawanan atau benturan dengan aparat. "Kami sepakat pada tanggal 7 September itu aksi menolak kami direalokasi. Jika besok pihak aparat bersama tim terpadu itu datang dalam jumlah besar, kami hanya membentuk barisan karena sudah tahu jika terjadi benturan maka akan banyak korban yang terjatuh dari kami,"katanya.
Kapolres Nugroho mengatakan saat terjadi bentrokan dengan warga pihak kepolisian tidak membawa senjata dan peluru tajam. Dia menyebutkan untuk membela diri para anggotanya hanya berlindung di belakang tameng dan helm yang digunakan dan untuk mendorong warga digunakan air biasa bukan gas air mata. Kapolres menegaskan saat aksi demonstrasi, ada provokator yang melakukan hasutan dengan ancaman viral. Tujuannya dinilai untuk merugikan nama kepolisian yang melakukan pengamanan.
"Kemarin itu di tengah aksi memang ada provokator yang mengedepankan ibu-ibu dan anak-anak di saat aksi berlangsung. Tujuannya jika terjadi chaos dan anak-anak serta kaum ibu jadi korban maka akan diviralkan dan itu ada buktinya, " kata Kapolresta Barelang Kombes Pol Nugroho kepada VoI di Kampung Pasir Panjang, Pulau Rempang, Kecamatan Galang, Kamis, 21 September.
Nugroho menyebutkan polisi dan tim terpadu sudah melakukan antisipasi akan embusan dari para provokator di tengah aksi. "Kami dari kepolisian dan tim terpadu lainnya sudah lakukan antisipasi dengan memberitahu kepada kaum ibu untuk mengawasi anak-anaknya dan juga kami beritahukan hal yang sama kepada para guru," kata Nugroho.
BACA JUGA:
Terkait informasi adanya bayi yang meninggal akibat terkena gas air mata ditegaskan Nugroho itu tidak benar dan tidak ada yang meninggal.
"Kami juga melakukan evakuasi kepada kaum ibu dan anak-anak termasuk bayi yang disebutkan terkena gas air mata dan meninggal padahal tidak. Anggota membawa ke rumah sakit dan alhamdulillah sehat sampai sekarang. Isu dan rumor seperti itu yang saat ini sedang diawasi dan dicari oleh anggota kami, "kata Nugroho.
Deputi II Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bidang Politik dan Hukum, Erasmus Cahyadi menilai keselamatan dan identitas masyarakat adat dari Suku Bangsa Melayu yang hidup secara turun temurun di 16 Kampung Tua di Pulau Rempang Batam sedang terancam serius. Pria yang berasal dari Nusa Tenggara Timur ini menegaskan negara telah melakukan tindak kekerasan kepada masyarakat adat yang hidup dan menjaga warisan budaya leluhur sejak awal abad ke-17.
"Demi investasi, pemerintah sudah tidak ragu melakukan kekerasan terhadap warga Rempang, Galang dan Bulang yang ada di Kepulauan Riau dan telah tinggal di sana selama ratusan tahun," kata Erasmus Cahyadi dalam keterangan tertulisnya kepada VOI, Jumat, 22 September.
Benturan warga Rempang dengan polisi di perbatasan jembatan empat, Cate dan Simpang Dapur Enam, membuat Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo bersuara. Dia menegaskan telah menerima perintah dari Presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan permasalahan di Pulau Rempang dengan cara persuasif. Kapolri meminta semua jajaran kepolisian di Pulau Batam untuk tidak represif melainkan mengedepankan pola persuasif kepada masyarakat di Pulau Rempang.
"Atas perintah Pak Presiden, penyelesaian relokasi warga, kita mengutamakan tindakan yang persuasif," katanya.
Sudah Merdeka Masih Terasa Dijajah Belanda
Setidaknya pemerintah itu menggunakan pendekatan free prior and informed consent (FPIC) atau asas persetujuan tanpa paksaan sebelumnya. Cara ini dilakukan dengan dialog dan musyawarah kepada warga. Bukan dengan tekanan dan deadline 30 hari harus mengosongkan tempat tinggal atas permintaan pengusaha.
Hak atas tanah yang dimiliki warga Pulau Rempang terancam akibat Program Pengembangan Kawasan Rempang sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) Batam. Lahan seluas 17 ribu hektar di Pulau Rempang akan digunakan oleh PT Makmur Elok Graha untuk untuk membangun kawasan investasi terpadu. Proyek yang bernama Rempang Eco City diharapkan mampu menarik investasi jumbo senilai Rp381 triliun.
Surat Keputusan (SK) hak pengelolaan lahan (HPL) yang diberikan kepada BP Batam mengisyaratkan hidupnya kembali domein verklaring di jaman kolonial Belanda di era kemerdekaan.
Domein Verklaring merupakan doktrin politik terkait hukum agraria pada zaman Belanda. Doktrin yang menjelaskan bahwa barang siapa yang tidak memiliki tanah atas hak kepemilikan tanah (bahasa belanda-eigendom), maka tanah tersebut akan menjadi milik negara. Artinya negara bisa dengan leluasa melakukan klaim dengan membuat pernyataan bahwa Pulau Rempang merupakan tanah milik negara yang tidak dimiliki oleh seorang pun.
Kisah Rempang ini mirip tulisan Ward Berenschot, Guru Besar Antropologi Politik Komparatif dari University of Amsterdam. Dia menulis artikel yang berjudul ”150 Tahun Belenggu atas Hak Tanah” yang diterbitkan (Kompas, 20/7/2020). Artikel yang menunjukkan dampak negatif domein verklaring terhadap kesejahteraan dan kualitas hidup jutaan masyarakat Indonesia di jaman penjajahan belanda
Pada tahun 1870, pemerintah kolonial Belanda menetapkan prinsip domein verklaring (domain negara bebas) di koloninya di Hindia Timur ketika memberlakukan undang-undang agraria untuk mendorong investasi swasta. Negara Indonesia yang kini merdeka masih berupaya menyelesaikan persoalan agraria seperti di Rempang dengan menggunakan konsep seperti ini, ironis.
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI, Parid Ridwanuddin, menyebut, dengan luas kurang-lebih 165 km persegi, Pulau Rempang masuk ke dalam kategori pulau kecil berdasarkan definisi UU No. 27 Tahun 2007 jo UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Berdasarkan hal itu, pengelolaan Pulau Rempang sebagai pulau kecil harus diprioritaskan untuk wilayah masyarakat bukan untuk investasi besar, apalagi mengusir mereka.
Parid menilai, masyarakat di pulau kecil akan semakin menderita karena investasi skala besar. Keterbatasan ruang dan daya dukung sumber daya alam, jika dialokasikan untuk kepentingan investasi skala besar, akan berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat yang tinggal di pulau kecil.
“Sebagaimana diketahui, masyarakat yang tinggal di pulau kecil, memiliki akses serta mobilitas terbatas, terutama terkait dengan pangan dan air bersih. Jika sumber pangan dan air bersih hilang, maka bencana kemanusiaan akan meledak,” katanya kepada VOI dalam keterangan tertulisnya, Sabtu, 23 September.