Perang Rusia-Ukraina: Israel Tidak Blak-Blakan Membantu Presiden Zelensky yang Yahudi, Ini Faktor Penyebabnya
Tentara Ukraina di samping rongsokan tank yang disebutkan milik Rusia, yang dilumpuhkan dalam perang Rusia-Ukraina di Kharkiv, Ukraina pada 24 Februari 2022. (ANTARA/REUTERS/Maksim Levin)

Bagikan:

PPJAKARTA – Israel saat ini menghadapi tekanan yang besar berkaitan dengan perang Rusia-Ukraina yang sudah berlangsung satu bulan. Negeri itu dituntut untuk memihak Ukraina, karena Presiden Volodymyr Zelensky adalah seorang Yahudi.

Zelensky merupakan Presiden Ukraina pertama berdarah Yahudi. Dia lahir di Kryvyi Rih, yang pada masa Kekaisaran Rusia menjadi satu-satunya wilayah yang diizinkan menjadi tempat tinggal etnis Yahudi di Ukraina. Seperti kebanyakan Yahudi Ukraina, masa lalu nenek moyang Zelensky juga diwarnai Holocaust ketika NAZI menyerbu Ukraina.

Sejauh ini Israel sebagai negeri asal muasal Zelensky masih belum bereaksi terhadap perang Rusia-Ukraina. Padahal tuntutan agar Israel membantu diplomasi, membangun rumah sakit darurat, hingga menyumbangkan teknologi persenjataan Iron Dome sebagai penangkal rudal sudah kencang diteriakkan komunitas Yahudi di seluruh dunia.

Demonstrasi di Tel Aviv, Israel menentang perang Rusa-Ukraina. (The Times of Israel/Thomas Nueberg/Flash90)

Di kota Tel Aviv, beberapa kali demonstrasi digelar di depan Kedutaan Besar Rusia. Protes berisi tuntutan agar Rusia segera menghentikan serangan ke Ukraina selalu diteriakkan para demonstran.

“Putin adalah Hitler Masa Kini”, “Stop Putin, Stop Perang”. Spanduk-spanduk bertuliskan seruan seperti itu lah yang diusung para demonstran di depan Kedutaan Besar Rusia di Tel Aviv. Demo tersebut sudah berlangsung sejak kali pertama invasi Rusia ke Ukraina pada 24 Februari 2022.

Kontradiksi PM dan Menlu Israel

Dalam sebuah pidato di acara kelulusan Perwira Pasukan Gabungan Israel (IDF) di sebuah wilayah di Israel Selatan pada 24 Februari, Perdana Menteri Naftali Bennett menyampaikan rasa simpati atas tragedi yang menimpa Ukraina.

“Tatanan dunia seperti yang kita tahu, saat ini sedang berubah. Dunia sedang tidak stabil, dan wilayah kita pun berubah setiap hari. Ini adalah masa-masa yang sulit dan tragis. Hati kami bersama warga Ukraina yang terjebak dalam situasi ini,” ujar Bennett, Perdana Menteri Israel dalam pidatonya yang dikutip The Times of Israel.

Pernyataan Bennett itu kontradiktif dengan sikap yang dikeluarkan Menteri Luar Negeri, Yair Lapid. Menlu Lapid mengecam keras invasi Rusia ke Ukraina. Bahkan media di Israel menyebutkan bahwa kecaman Yapid tersebut merupakan pernyataan paling keras dari Yerusalem terhadap Moskow.

“Invasi Rusia ke Ukraina merupakan pelanggaran berat terhadap tatanan internasional,” ujar Lapid mengecam Rusia, hanya beberapa jam sebelum PM Bennett berpidato di IDF.

PM Israel, Naftali Bennett bertemu Presiden Rusia, Vladimir Putin di Moskow pada 6 Maret 2022. (The Times of Israel/Kobi Gideon/GPO)

Dalam pidato yang pedas melalui zoom di depan Knesset atau Parlemen Israel, pada 20 Maret, Presiden Zelensky berulang kali mengucapkan kata “Holocaust”. Dia sekaligus mengecam Israel yang memilih bersikap diam. Zelensky berharap bantuan Israel merupakan solusi pamungkas bagi perjuangan melawan Rusia.

“Ukraina dan Israel menghadapi ancaman yang sama dari musuh masing-masing. Kehancuran total rakyat kita, budaya kita, negara kita, bahkan nama: Ukraina, Israel,” kata Zelensky dalam pidatonya.

Presiden yang mantan pelawak top di Ukraina itu juga mengingatkan kepada Knesset, bahwa 24 Februari yang menjadi awal serbuan Rusia adalah tanggal Partai Pekerja Sosialis Nasional Jerman (NAZI) didirikan.

“Sama seperti yang dilakukan NAZI, Rusia juga menghancurkan seluruh negara dan mencoba melakukan genosida,” kata Zelensky lagi.

Melangkah Hati-Hati

Segala jenis bantuan untuk Ukraina yang diberikan Amerika Serikat dan sekutu NATO ditambah sanksi ekonomi terhadap Rusia, diyakini tidak akan berpengaruh apapun terhadap tindakan Negeri Beruang Merah itu.

Itu sudah dibuktikan dengan sanksi Amerika dan sekutunya terhadap Korea Utara dan Kuba yang sudah diberlakukan sejak 1950an, namun tidak mengubah apa pun. Korea Utara dan Kuba tetap kokoh berdiri dengan ideologi masing-masing.

Amerika Serikat sebagai pemimpin, tidak berani mengambil risiko Perang Dunia III menghadapi Rusia yang sudah mengancam dengan senjata nuklir. Anggota NATO memang menurunkan pasukan, namun tidak diterjunkan ke medan perang di Ukraina.

Pasukan NATO hanya ditempatkan di perbatasan masing-masing negara anggota. Bantuan senjata yang dikirimkan ke Ukraina pun sebenarnya sangat kecil. Semua itu dilakukan karena Ukraina bukan anggota NATO.

Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky yang berdarah Yahudi saat berpidato lewat zoom di hadapan Parlemen Israel, Knesset pada 20 Maret 2022. (Tangkapan Layar YouTube)

Israel pun mengambil pendekatan yang sangat berhati-hati. Mereka mengutuk Rusia, namun tidak menandatangani Resolusi Dewan Keamanan PBB yang mengikat. Bantuan kemanusiaan diberikan, namun bukan militer.

Israel lebih memilih sebagai mediator, dengan kunjungan Bennett ke Moskow untuk bertemu Presiden Vladimir Putin pada 6 Maret lalu. Sikap ini bukannya tanpa risiko. Israel sangat mungkin dicemooh bangsa lain karena sikap yang ambigu. Sangat berbeda dengan saat mereka menghadapi Palestina.

Sementara Zelensky dengan latar belakang Yahudinya, menginginkan sikap tegas dari Israel. Sang Presiden bahkan sampai meminta para Yahudi Ukraina yang pulang kampung ke Israel untuk kembali ke Ukraina, dan ikut berperang.

Lima Faktor Pemicu Keraguan Israel

Israel harus berhat-hati menentukan sikap, karena lima faktor yang berpotensi memberatkan mereka jika salah melangkah. Pertama adalah posisi Rusia sebagai pemasok utama teknologi dan bahan baku nuklir Iran. Jika Israel sampai salah langkah, bukan tidak mungkin keran bantuan nuklir Rusia ke Iran akan diperlebar. Jelas itu membahayakan Israel yang berseteru dengan Iran.

Kedua, Rusia merupakan pemasok utama persenjataan ke Suriah, tetangga yang sama sekali tidak akur dengan Israel. Rusia dapat memberi Suriah bantuan sistem antipesawat paling canggih di dunia, S-400 yang jelas bakal membatasi ruang gerak Israel di negara tetangganya itu. Israel tak menginginkan hal tersebut terjadi.

Sistem persenjataan penangkal rudal, Iron Dome, yang diharapakan diberikan Israel untuk Ukraina menghadapi perang Rusia-Ukraina. (Wikipedia)

Ketiga, Rusia saat ini adalah kekuatan utama di Timur Tengah, bukan lagi Amerika Serikat. Rusia juga mempunyai pangkalan udara dan laut di Suriah yang menjadi markas utama di Jazirah Arab. Rusia juga sedang berusaha untuk memperluas pengaruh di Mesir, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan banyak negara Timur Tengah lain.

Keempat, di Rusia dan Ukraina terdapat populasi etnis Yahudi yang besar. Kesejahteraan, keamanan, dan hubungan mereka dengan Israel sebagai negeri leluhur dijaga dengan sangat baik. Mereka diberi kemudahan untuk bermigrasi.

Kelima merupakan yang paling penting. Israel harus mampu meredam Amerika Serikat untuk tidak gegabah ikut perang, dengan alasan apa pun. Sejauh ini, Amerika Serikat mendukung penuh misi diplomatik Israel dalam menangani perang Rusia-Ukraina.

Semua fakta di atas memang terasa menyedihkan untuk Ukraina. Secara kasat mata, negeri Presiden Zelensky yang seorang Yahudi sudah di ambang kekalahan dalam perang Rusia-Ukraina.