Wahana Antariksa Miliarder Dikritik karena Hasilkan Karbon Berlebih
Peluncuran roket menghasilkan emisi karbon yang luar biasa banyak. ( Ilustrasi Photo SpaceX via Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Wahana antariksa dari perjalanan yang ditawarkan oleh beberapa perusahaan luar angkasa menuai kritik pedas. Hal ini didasari karena jejak karbon yang dihasilkan pesawat luar angkasa itu memberikan pengaruh buruk terhadap lingkungan.

Belum lama ini Richard Branson melakukan perjalanannya ke luar angkasa bulan ini dengan kapal Virgin Galactic, SpaceShipTwo miliknya. Jeff Bezos direncanakan akan meluncurkan roket Blue Origin pada 20 Juli. Sementara SpaceX Elon Musk merencanakan misi orbital semua sipil pada September mendatang. Industri pariwisata luar angkasa yang baru lahir tersebut menghadapi pertanyaan sulit tentang dampak untuk lingkungan.

"Emisi karbondioksida benar-benar dapat diabaikan dibandingkan dengan aktivitas manusia lainnya atau bahkan penerbangan komersial," ungkap kepala penasihat iklim NASA, Gavin Schmidt.

Mengutip AFP via Japan Today, Senin 19 Juli, beberapa ilmuwan khawatir tentang potensi bahaya jangka panjang karena industri ini siap untuk bertumbuh besar, terutama dampak pada lapisan ozon di atmosfer atas yang masih kurang dipahami.

Virgin Galactic, mengatakan emisi karbonnya hampir setara dengan tiket kelas bisnis dari London ke New York. Padahal, pesawat luar angkasanya itu cukup banyak menguras bahan bakar fosil.

"Perusahaan telah mengambil langkah-langkah untuk mengimbangi emisi karbon dari penerbangan uji dan sedang memeriksa peluang untuk mengimbangi emisi karbon untuk penerbangan pelanggan masa depan, dan mengurangi jejak karbon rantai pasokan kami," ujar pihak Virgin Galactic.

Berbanding terbalik dengan kenyataannya, menurut analisis yang diterbitkan oleh astrofisikawan Prancis, Roland Lehoucq dan rekan-rekannya di The Conversation, penerbangan transatlantik yang membawa ratusan orang menghasilkan emisi Virgin mencapai sekitar 4,5 ton per penumpang dalam penerbangan yang berjumlah enam penumpang.

SpaceShipTwo menggunakan sejenis karet sintetis sebagai bahan bakar dan membakarnya dalam nitrous oxide, gas rumah kaca yang kuat. Bahan bakar itu memompa karbon hitam ke stratosfer atas, setinggi 30 hingga 50 kilometer.

Partikel-partikel ini dapat memiliki banyak dampak. Mulai dari memantulkan sinar Matahari dan menyebabkan efek musim dingin nuklir, hingga mempercepat reaksi kimia yang menguras lapisan ozon. Padahal lapisan ini sangat penting untuk melindungi manusia dari radiasi berbahaya.

Ironisnya, Virgin telah mengatakan ingin melakukan 400 penerbangan per tahun. Dibandingkan dengan SpaceShipTwo, Blue Origin jauh lebih bersih. Ini menurut sebuah makalah baru-baru ini oleh ilmuwan Martin Ross, dari Aerospace, yang diunggah dalam cuitan oleh perusahaan Bezos di Twitter.

Blue Origin hanya membakar hidrogen cair dan oksigen cair, yang menghasilkan uap air. Dalam makalahnya, Ross mengklaim menemukan roket peluncuran vertikal Blue Origin yang dapat digunakan kembali menyebabkan hilangnya ozon seratus kali lebih sedikit dan 750 kali lebih sedikit kekuatan iklim daripada milik Virgin. Tapi itu tidak berarti Blue Origin benar-benar bersih.

"Dibutuhkan listrik untuk membuat oksigen cair dan hidrogen cair. Anda bisa kembali dan menghitung berapa banyak listrik yang digunakan untuk membuat propelan. Itu tergantung seberapa jauh Anda melihat ke belakang dalam rantai pasokan," jelas Ross.

Dampak peluncuran suborbital seperti yang dilakukan oleh Virgin dan Blue Origin tidak seberapa dibandingkan dengan dampak roket yang mencapai orbit. Ketika SpaceX menempatkan empat warga negara ke luar angkasa pada September mendatang, ia akan menggunakan roket Falcon 9, yang menurut perhitungan menunjukkan setara dengan 395 emisi karbon senilai penerbangan transatlantik.

"Kita hidup di era perubahan iklim dan memulai aktivitas yang meningkatkan emisi sebagai bagian dari aktivitas pariwisata bukanlah waktu yang tepat," tutur Annette Toivonen, penulis buku Wisata Luar Angkasa Berkelanjutan.

Saat ini, dunia jauh lebih sadar akan krisis iklim daripada ketika perusahaan-perusahaan ini didirikan pada awal 2000-an. Hal itu dapat mendorong bisnis untuk mencari cara meminimalkan polusi melalui teknologi yang lebih bersih untuk mengatasi masalah tersebut.