Dituduh Langgar UU Antimonopoli 36 Negara Bagian AS dan DC Gugat Google, Bagaimana Kasus di Indonesia?
Sejumlah gugatan harus dihadapi Google dengan pemerintah negara bagian di AS. (foto: Greg Bulla/unsplash)

Bagikan:

Jakarta - Jaksa agung dari 36 negara bagian di AS dan District of Columbia, Rabu, & Juli  mengajukan gugatan anti-trust terhadap Google. Gugatan bipartisan mengulangi kasus serupa yang diajukan oleh pembuat Fortnite Epic Games terhadap raksasa mesin pencarian Agustus 2020, yang menantang biaya tambahan dari Google pada aplikasi yang menggunakan Google Play Store-nya.

Gugatan tersebut menuduh bahwa rencana Google untuk meminta bayaran untuk-Play Store melanggar undang-undang anti-trust, merugikan konsumen di negara bagian. Sebelumnya Google telah mengumumkan rencananya untuk memaksa semua pengembang aplikasi yang menggunakan Google Play Store untuk membayar komisi sebesar 30 persen atas penjualan barang atau layanan digital, mulai September 2021. 

Epic Games menantang kebijakan serupa pada Agustus lalu. Hakim James Donato, orang yang ditunjuk Obama yang akan mendengarkan gugatan negara bagian, telah menjadwalkan persidangan dalam gugatan Epic untuk April 2022.

Pay-to-Play Store adalah toko aplikasi default di ponsel Android Google, meskipun pengguna Android juga dapat mengunduh aplikasi dari toko yang dioperasikan oleh perusahaan seperti Amazon dan Samsung. Bahkan pengguna bisa menginstalnya langsung dari sumber lain. Apple, sebaliknya, hanya mengizinkan pengguna iPhone untuk mengunduh ponsel dari App Store Apple.

Google telah lama mewajibkan pengembang aplikasi untuk menggunakan sistem pembayarannya untuk pembelian yang dilakukan melalui Play Store. Tahun lalu, perusahaan mengumumkan akan memberlakukan aturan tersebut pada September 2021.

Perusahaan seperti Netflix, Spotify, dan Match Group, yang mengabaikan biaya tambahan, mengeluhkan hal itu. Sementara Google berusaha memadamkan kekecewaaan mereka dengan menurunkan komisi hingga 15 persen pada penjualan 1 juta dolar pertama. Pengembang layanan video, audio, dan e-book juga hanya perlu membayar 15 persen.

Google melakukan pembelaan pada sidang komisi Senat pada April 2021, mengklaim bahwa “orang lain” di industri ini juga mengenakan harga yang sama. Google bersikeras  bahwa penarik komisi  itu juga dimaksudkan untuk membantu mendanai alat pengembang dan pembaruan ekosistem Android,.

“Jika pengembang merasa bahwa proposisi nilai Google Play tidak memadai, mereka dapat mendistribusikan aplikasi mereka dalam beberapa cara lain,” kata Wilson White, pemimpin kebijakan publik Google untuk Android dan Google Play, saat itu.

Jessica Melugin, direktur Center for Technology di pasar bebas Competitive Enterprise Institute (CEI), menganggap kasus ini agak kurang menarik.

"Kasus negara terhadap Google adalah tentang pengembang aplikasi, yang kemungkinan tidak akan memiliki distribusi massal atau keuntungan tanpa keuntungan distribusi yang luas dari Play Store, ingin mengubah aturan," ungkap Melugin. 

“Tidak hanya sudah ada alternatif lain untuk mengunduh aplikasi ini di perangkat Android, tetapi konsumen mendapat manfaat dari keamanan, privasi, dan kenyamanan sistem pembayaran terpusat. Undang-undang antimonopoli AS harus melindungi konsumen, bukan menegosiasikan ulang pengaturan bisnis swasta melalui campur tangan pemerintah,” ucap Melugin. 

Google juga menghadapi tuntutan hukum lainnya. Pada Oktober 2020, Departemen Kehakiman dan 14 negara bagian menggugat Google atas upaya perusahaan untuk mendominasi pasar pencarian seluler. 

Tiga puluh delapan negara bagian dan teritori juga mengajukan gugatan terkait pencarian pada Desember 2020. Lima belas negara bagian dan teritori juga menggugat perusahaan terkait teknologi periklanannya.

Di Indonesia sendiri permasalahan seperti itu belum muncul.  Masalah yang dihadapi Google di Indonesia lebih banyak ke persoalan pajak. 

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati pernah menyampaikan, bahwa pemerintah tetap akan tegas urusan kepatuhan pajak yang dilakukan Google. Meskipun ia tidak menampik Google memberikan nilai ekonomis bagi Indonesia. 

Sri mengakui hingga saat ini pihaknya masih melakukan pembahasan dengan pihak Google. Dari sisi pemerintah, ada angka-angka yang diestimasikan terkait nilai pajak terutang oleh Google selama ini. 

Data yang dihimpun pemerintah berasal dari Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang memiliki catatan seberapa besar volume dan nilai transaksi yang dilakukan Google di Indonesia. Hanya, Sri memaklumi ketika pihak Google memiliki hitungan sendiri atas operasional bisnis mereka selama ini.