JAKARTA - Dalam beberapa tahun terakhir, dunia telah melihat peningkatan drastis dalam industri teknologi Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan. Begitupun soal persaingan teknologi antara Amerika Serikat (AS) dan China yang meningkat.
Dalam laporan Venturebeat, Rabu 20 Mei, pada acara Tortoise Global AI Summit baru-baru ini, para narasumber membahas hubungan yang semakin kuat antara kemampuan teknologi global. Bahkan jauh sebelum Presiden Trump, melancarkan perang dagang dengan negeri Tirai Bambu.
BACA JUGA:
Para narasumber sepakat bahwa AI akan menjadi titik fokus dalam bisnis teknologi, yang mulai dimanfaatkan dalam beberapa dekade terakhir. Sementara persaingan di kedua negara, tak lagi menyoal perangkat genggam atau smartphone saja, tetapi sudah meluas ke sektor bisnis lain.
"Kami melihat persaingan teknologi dalam konteks hubungan yang memburuk antara dua kekuatan besar dunia. Kedua negara ini memiliki ekonomi yang kira-kira berukuran sama, dan mereka menggunakan platform ekonomi mereka sebagai kendaraan untuk memproyeksikan kekuatan untuk pengaruh mereka dalam mengendalikan dunia. AI adalah arus utama dalam perlombaan teknologi yang lebih luas itu," ungkap mantan kepala agen mata-mata MI6 Inggris, John Sawers.
Tak hanya John Sawers yang berkomentar soal teknologi AI. CEO Graphcore Nigel Toon, mengungkapkan bila teknologi AI tak harus dikuasai satu perusahaan besar, selain dengan perkembangan regulasi di setiap negara untuk mendukung inovasi.
Sebab menurutnya saat ini, kans perkembangan teknologi saat ini hanya dimiliki segelintir perusahaan besar. Sebut saja raksasa teknologi seperti Facebook dan Google di Amerika. Kemudian raksasa e-commerce Alibaba dan Huawei, yang memiliki daya saing lewat produk AI.
"Jika orang lain mengembangkan AI terdepan lebih cepat dari Google, itulah yang dikhawatirkan Google. Itu sebabnya Google membeli DeepMind. Dan Facebook juga menginvestasikan kekayaan dalam hal ini. Sama seperti halnya Alibaba dan Tencent," imbuh Toon.
China Diklaim Unggul dalam Masalah Privasi
Toon menambahkan, bahwa perbedaan AS dengan China adalah bahwa pemerintah memiliki hubungan yang lebih erat dan lebih kooperatif dengan perusahaan teknologi. Seperti kebijakan dan budayanya menyoal privasi dan data yang lebih unggul ketimbang negeri Paman Sam tersebut. Itu sebabnya, AI bisa lebih unggul dimiliki oleh China. Karena keamanan data saat ini juga sedang menjadi perhatian.
"Tidak ada batasan pada pengumpulan dan penggunaan data mereka. Di Barat, kami bangga pada privasi individu sebagai bagian dari masyarakat bebas, China telah membuat sistem pengawasan di dalam kota-kota besar mereka yang sangat kuat, itu adalah semacam mekanisme kontrol yang sangat luas," jelas Sawers.
Sawers berpendapat hal itu memang memberi mereka keuntungan di bidang ini karena AI dan pembelajaran mesin sangat bergantung pada pengumpulan data secara massal dan mampu mengolah data sekaligus memanipulasi data.
Diketahui, saat ini Eropa pun turut membesut teknologi AI untuk menyaingi kedua negara tersebut sebagai prioritas ekonomi dan politik. Seperti hal nya menginvestasikan sejumlah besar ke dalam penelitian dan startup, tetapi juga berusaha untuk mengukir identitas yang berbeda dengan mengambil pendekatan yang lebih etis terhadap AI daripada AS atau China.
Namun sayangnya, meski wilayah ini telah membuat langkah mengesankan di banyak bidang yang terkait dengan teknologi, Eropa masih sangat bergantung pada negara lain karena banyak komponen dasar yang diperlukan untuk mengembangkan komputasi canggih.