JAKARTA - Masuknya COVID-19 ke Indonesia telah membuat pasar keuangan bergejolak. Nilai tukar rupiah melemah dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pun menurun tajam. Sektor-sektor industri pun turut terganggu.
Bank Indonesia (BI) segera mengumumkan lima kebijakan untuk menangkal dampak virus COVID-19 terhadap perekonomian. Langkah bank sentral tersebut antara lain meningkatkan intervensi di pasar keuangan dengan triple intervention atau intervensi tiga lapis di pasar spot, surat berharga negara, dan domestic non delivery forward atau DNDF.
Mewabahnya COVID-19 pun berdampak pada perekonomian Indonesia, terutama perdagangan ekspor-impor. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan mencatat devisa impor Indonesia ke China menurun drastis hingga separuhnya.
Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar Lembaga Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Syarif Hidayat mengatakan, nilai devisa impor dari China pada pekan terakhir Februari hanya sebesar 463 juta dolar AS, anjlok 51 persen atau turun sekitar 485 juta dolar AS dibanding pekan terakhir Januari mencapai 948 juta dolar AS.
Adapun jenis barang impor yang terpengaruh adalah komputer, mesin, semi-manufaktur, tekstil, dan smartphone tercatat menurun tajam. Tak hanya itu, Menteri Koordinasi Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan bahwa wabah COVID-19 membuat jalur rantai pasok bahan baku industri-industri dunia terpotong 30 persen. Selama ini rantai bahan baku industri mengandalkan China.
"Ini untuk pertama kalinya terganggu karena rantai pasok dari China berkontribusi 30 persen secara global," kata Airlangga.
DBS Group Research pun juga mengungkapkan efek domino dari penyebaran COVID-19 terutama dari sisi rantai pasok di kawasan. Adapun yang paling terpengaruh oleh wabah ini adalah rantai pasok elektronik. Ditambah lagi, dengan situasi di Korea Selatan yang semakin mengkhawatirkan akibat dari COVID-19 yang berpotensi menekan rantai pasok ini.
Di China, area yang paling terdampak COVID-19 adalah kawasan produsen perusahaan elektronik. Mulai dari kawasan pesisir, Provinsi Guangdong tempat banyak pabrik smartphone, terutama Huawei di Kota Shenzhen dan Dongguan. Pemerintah China pun mengambil langkah tegas dengan memperpanjang hari libur dan menutup banyak pabrik di seluruh negeri.
Sejumlah pabrik di China mulai beroperasi pada pertengahan Februari 2020. Namun, hal itu masih terbatas akibat semakin banyaknya larangan bepergian dari dan keluar China secara global.
Ini membuat pekerja yang tengah liburan di luar kota atau luar negeri sulit untuk kembali bekerja. Sejumlah laporan menyebutkan, perusahaan elektronik China yang beroperasi jauh di bawah kapasitas normal, yakni sekitar 30-50 persen.
BACA JUGA:
Di Korea Selatan, wabah COVID-19 paling berdampak di kawasan Daegu dan sekitarnya di Provinsi Gyeongbuk. Gyeongbuk merupakan pusat pabrik smartphone, TV dan produk elektronik lainnya, seperti Samsung dan LG.
Namun, tidak seperti China, pemerintah Korea Selatan tidak mengeluarkan kebijakan untuk perusahaan menutup pabrik untuk sementara atau mengisolasi kota di mana virus tersebut menyebar.
“Justru, secara sukarela, LG dan Samsung dengan produksi smartphone selama 2-3 hari pada akhir Februari,” kata analis DBS Research Group dalam keterangan yang diterima VOI, Rabu 11 Maret.
Analis DBS Research Group melihat bahwa masih banyak ketidakpastian di Korea Selatan mengingat ada kekhawatiran wabah akan menyebar secara nasional dalam beberapa bulan mendatang. Jika hal itu terjadi, ini dapat memicu pengetatan mobilitas agar virus tidak menyebar yang berarti akan menyebabkan gangguan yang lebih serius pada kegiatan produksi.
China adalah produsen ponsel, komputer, dan produk elektronik penting terbesar di dunia saat ini. Perusahaan-perusahaan China memainkan peran penting dalam pasokan global komponen elektronik menengah ke bawah.
Di wilayah Asia, Korea Selatan dan Taiwan paling mengandalkan China untuk perakitan hilir jadi elektronik. Sebanyak 70 persen dari ekspor barang setengah jadi di sektor elektronik ditujukan untuk pasar China.
Di sisi lain, sebagian besar negara Asia sangat bergantung pada China untuk pasokan hulu komponen dan komponen elektronik. Selain Korea Selatan dan Taiwan, India, Indonesia, Thailand dan Vietnam juga memasok 40-60 persen impor barang setengah jadi di sektor elektronik dari pemasok China.
Sementara Korea Selatan adalah produsen memory chip dan panel layar yang paling penting di dunia. Negara itu memegang 70 persen saham di pasar global DRAM dan 45 persen di pasar NAND Flash.
Di kawasan ini, China dan Vietnam paling mengandalkan Korea Selatan untuk memasok suku cadang dan komponen. Statistik menunjukkan bahwa hampir 30 persen impor barang setengah jadi di China pada sektor elektronik bersumber dari Korea Selatan, sementara kebutuhan Vietnam sebesar 24 persen dari Korea Selatan.
Hingga saat ini, meski sejumlah penderita yang terpapar virus COVID-19 berangsur-angsur pulih, perusahaan elektronik China masih berjuang untuk kembali memproduksi secara normal.
Perusahan -perusahaan yang bergantung dengan pasokan China masih akan merasakan efek domino wabah ini hingga 1-2 bulan ke depan. Namun, dengan belum membaiknya kondisi di Korea Selatan, pemulihan produksi elektronik China akan terlambat.
Meski demikian, analis DBS Research Group menekankan efek rantai pasok terutama elektronik diperkirakan berlangsung sementara. Sektor ini diharapkan pulih kembali pada akhir 2020.
Wabah virus COVID-19 dinyatakan positif di Indonesia dan telah membunuh lebih dari 3.000 orang dengan total kasus infeksi mencapai 88 ribu orang di dunia. Jumlah kasus baru virus COVID-19 di China mulai menurun, tetapi meningkat di negara dan wilayah lainnya.