JAKARTA - Di tengah kebangkitan kembali harga Bitcoin yang melesat melewati angka 67.000 Dolar AS (Rp1,05 miliar), nama MicroStrategy kembali menjadi sorotan publik. Perusahaan yang dipimpin oleh Michael Saylor ini tidak hanya dikenal sebagai pemegang Bitcoin terbesar di dunia, tetapi juga berhasil mencatatkan harga saham tertingginya dalam 25 tahun terakhir.
Berdasarkan data dari TradingView, saham MicroStrategy (MSTR) mencapai 235,89 Dolar AS (Rp3,7 juta) pada sesi perdagangan Kamis lalu, dengan kenaikan lebih dari 7% dalam satu hari. Kenaikan ini terjadi menjelang laporan pendapatan kuartal ketiga yang dijadwalkan.
Pertumbuhan yang stabil ini menunjukkan bagaimana MicroStrategy, yang awalnya bergerak di bidang pengembangan perangkat lunak untuk analisis data, telah bertransformasi menjadi kekuatan utama dalam dunia kripto. Sejak mulai berinvestasi di Bitcoin sebagai aset cadangan pada tahun 2020, saham MicroStrategy telah melampaui banyak pesaingnya di indeks S&P 500, bahkan mengalahkan pertumbuhan saham Microsoft sejak 1999.
Saat ini, MicroStrategy memegang 252,222 BTC, menjadikannya sebagai pemegang Bitcoin korporat terbesar di dunia. Dengan harga Bitcoin saat ini yang mencapai 67.392 Dolar AS (Rp1,06 miliar), nilai aset yang dimiliki MicroStrategy melebihi 17 miliar Dolar AS (Rp267 triliun). Keberhasilan perusahaan dalam strategi investasi Bitcoin ini telah menarik perhatian banyak analis, dengan beberapa di antaranya memprediksi bahwa target selanjutnya untuk saham ini adalah 245 Dolar AS (Rp3,8 juta).
BACA JUGA:
Sejak perubahan fokus bisnisnya, MicroStrategy telah berhasil mengumpulkan dana sebesar 4,25 miliar Dolar AS (Rp66,8 triliun) dari penawaran ekuitasnya, yang digunakan untuk memperbesar kepemilikan Bitcoin. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun perusahaan ini berfokus pada aset kripto, mereka tetap menjalankan model bisnis yang solid untuk mendukung strategi investasi mereka.
Namun, strategi agresif MicroStrategy juga tidak lepas dari kritik. Banyak pengamat pasar yang mempertanyakan ketahanan perusahaan ini dalam menghadapi volatilitas tinggi di pasar kripto. Meskipun Michael Saylor terus berupaya untuk mengakumulasi Bitcoin, perusahaan ini juga memperluas penawaran obligasi konversi untuk mengumpulkan lebih banyak dana. Namun, sebagian besar obligasi ini tidak akan jatuh tempo hingga tahun 2032, menimbulkan pertanyaan tentang kelangsungan perusahaan saat pasar mengalami penurunan.
Meskipun ada kritik yang valid mengenai ketergantungan perusahaan pada Bitcoin, Saylor tetap teguh pada pendiriannya dan terus menggandakan investasi BTC-nya. Dalam sebuah unggahan di media sosial, Saylor bahkan menantang CEO Microsoft, Satya Nadella, untuk bergabung dalam upaya menciptakan nilai triliunan dolar bagi para pemegang saham Microsoft.