Bagikan:

JAKARTA – Penganugerahan Hadiah Nobel dalam bidang Kimia dan Fisika kepada beberapa pionir kecerdasan buatan (AI) yang terkait dengan Google pekan ini telah memicu perdebatan tentang dominasi penelitian perusahaan tersebut dan bagaimana terobosan dalam ilmu komputer seharusnya diakui.

Google, yang telah berada di garis depan penelitian AI, kini menghadapi tekanan kompetitif dari OpenAI, yang didukung oleh Microsoft, serta pengawasan ketat dari Departemen Kehakiman AS.

Pada  Rabu, 9 Oktober, Demis Hassabis, salah satu pendiri DeepMind, unit AI milik Google, bersama koleganya John Jumper dianugerahi Hadiah Nobel di bidang Kimia, bersama ahli biokimia asal AS, David Baker, atas karya mereka dalam menguraikan struktur protein mikroskopis.

Sementara itu, mantan peneliti Google, Geoffrey Hinton, memenangkan Hadiah Nobel di bidang Fisika pada  Selasa, 8 Oktober, bersama ilmuwan asal AS, John Hopfield, atas penemuan awal mereka dalam pembelajaran mesin yang membuka jalan bagi perkembangan AI saat ini.

Namun, beberapa pihak mempertanyakan relevansi kategori Nobel yang diberikan. Profesor Dame Wendy Hall, seorang ilmuwan komputer dan penasihat AI untuk PBB, mengungkapkan bahwa meskipun karya para penerima layak diakui, ketidakhadiran kategori Nobel untuk matematika atau ilmu komputer telah mempengaruhi hasilnya.

Selain itu, Noah Giansiracusa, seorang profesor matematika di Universitas Bentley, juga menganggap kemenangan Hinton kurang tepat di bidang Fisika. Menurutnya, meskipun Hinton telah melakukan pekerjaan luar biasa, penemuannya bukanlah fisika murni.

Perdebatan ini menyoroti ketimpangan antara perusahaan teknologi besar seperti Google, yang memiliki sumber daya tak terbatas untuk mendominasi penelitian AI, dan akademia tradisional yang berjuang untuk bersaing.

Geoffrey Hinton sendiri telah menyatakan kekhawatirannya tentang potensi bahaya AI, bahkan berhenti dari Google tahun lalu agar bisa lebih bebas berbicara tentang ancaman eksistensial yang dihadirkan oleh AI yang semakin cerdas.

Meningkatnya dominasi Google dan perusahaan teknologi besar lainnya dalam penelitian ilmiah ini menggarisbawahi perlunya investasi publik yang lebih besar dalam penelitian ilmiah untuk menyeimbangkan inovasi di luar lingkup kepentingan komersial.