Bagikan:

JAKARTA - TikTok kembali menghadapi gugatan hukum, kali ini dari 13 negara bagian Amerika Serikat dan Washington DC pada Selasa 8 Oktober, dengan tuduhan bahwa platform media sosial populer tersebut merugikan serta gagal melindungi pengguna muda.

Gugatan ini diajukan secara terpisah di New York, California, Washington DC, dan 11 negara bagian lainnya, memperluas pertarungan hukum TikTok dengan regulator AS, yang berusaha memberikan sanksi finansial baru terhadap perusahaan tersebut.

Para negara bagian menuduh TikTok menggunakan perangkat lunak yang dirancang secara sengaja agar adiktif, dengan tujuan membuat anak-anak menghabiskan lebih banyak waktu di aplikasi tersebut. Selain itu, TikTok dituduh tidak transparan terkait efektivitas moderasi kontennya.

"TikTok mendorong kecanduan media sosial demi keuntungan perusahaan," ujar Jaksa Agung California, Rob Bonta. "TikTok secara sengaja menargetkan anak-anak karena mereka tahu bahwa anak-anak belum memiliki kemampuan untuk membuat batasan yang sehat terhadap konten yang adiktif."

Jaksa Agung New York, Letitia James, menambahkan bahwa media sosial seperti TikTok telah memengaruhi kesehatan mental anak-anak, menyebabkan mereka terjebak dalam konten yang mengganggu. TikTok membantah tuduhan tersebut, menyatakan bahwa platformnya menawarkan perlindungan yang kuat bagi remaja dan orang tua.

Selain itu, Jaksa Agung Washington DC, Brian Schwalb, menuduh TikTok menjalankan bisnis pengiriman uang tanpa izin melalui fitur streaming langsung dan mata uang virtualnya. TikTok juga dituduh memfasilitasi eksploitasi seksual terhadap pengguna di bawah umur.

Negara bagian lain yang ikut menggugat termasuk Illinois, Kentucky, Louisiana, Massachusetts, Mississippi, New Jersey, North Carolina, Oregon, South Carolina, Vermont, dan Washington. Sebelumnya, pada Maret 2022, delapan negara bagian, termasuk California dan Massachusetts, meluncurkan penyelidikan nasional mengenai dampak TikTok terhadap kaum muda.

TikTok, yang dimiliki oleh perusahaan China, ByteDance, juga tengah menghadapi kemungkinan pelarangan di AS berdasarkan undang-undang yang diusulkan pemerintahan Joe Biden.