JAKARTA – Filipina telah mendeteksi upaya peretasan oleh pihak asing yang menargetkan data intelijen negara tersebut. Namun, Menteri Informasi dan Komunikasi, Ivan Uy, menyatakan pada Selasa 18 Februari, bahwa hingga saat ini belum ada kebocoran yang terjadi.
Menurut Uy, percobaan peretasan ini sangat luas dan melibatkan ancaman siber tingkat tinggi atau Advanced Persistent Threats (APT). Kelompok-kelompok ini, yang sering kali didukung oleh negara tertentu, secara berulang mencoba menembus sistem pemerintah Filipina tetapi sejauh ini tidak berhasil.
"Ancaman ini sudah ada sejak lama dan berasal dari berbagai aktor, tetapi sebagian besar berasal dari luar negeri," kata Uy dikut VOI dari Reuters.
Ia mengungkapkan bahwa beberapa ancaman tersebut, yang disebutnya sebagai "sleepers", telah tertanam dalam sistem pemerintah sebelum akhirnya terdeteksi melalui upaya keamanan siber yang diperkuat.
Uy menegaskan bahwa hingga saat ini belum ada indikasi serangan siber yang menargetkan infrastruktur penting di Filipina. "Mudah-mudahan ini karena pertahanan dan keamanan siber kita cukup kuat," ujarnya.
Namun, ia mengakui bahwa sangat sulit mengidentifikasi secara pasti siapa yang berada di balik serangan ini karena banyak upaya peretasan yang sengaja meninggalkan jejak digital yang menyesatkan.
Pemerintah Filipina kini terus memperkuat pertahanannya dengan berbagi intelijen dengan pihak militer serta bekerja sama dengan negara lain melalui jalur diplomatik guna memvalidasi ancaman dan meningkatkan keamanan.
Tahun lalu, Filipina berhasil menggagalkan upaya peretasan yang diduga berasal dari China, yang menargetkan situs web serta sistem email kepresidenan dan sejumlah lembaga pemerintah, termasuk yang berhubungan dengan keamanan maritim.
BACA JUGA:
Perang Dunia III di Dunia Siber
Uy menggambarkan meningkatnya ancaman siber ini sebagai bagian dari perlombaan senjata global, di mana negara dan organisasi kriminal mengeksploitasi celah digital demi keuntungan finansial atau strategis.
"Perang Dunia III sedang terjadi dan ini adalah perang siber," katanya. "Senjata yang digunakan bukan fisik, melainkan digital dan virtual. Serangan dan pertahanan berlangsung setiap saat tanpa ada manifestasi fisik."
Selain ancaman peretasan, Uy juga menyoroti meningkatnya penyebaran deepfake serta berita palsu yang sengaja dibuat untuk memanipulasi opini publik menjelang pemilu sela di Filipina pada Mei mendatang.
Kementerian Informasi dan Komunikasi Filipina kini telah menerapkan sejumlah alat untuk menangkal penyebaran informasi yang salah.
"Misinformasi dan disinformasi jauh lebih berbahaya bagi demokrasi seperti Filipina, karena kita bergantung pada pemilu, dan pemilu didasarkan pada opini publik," pungkasnya