JAKARTA - Interpol mengumumkan pada Jumat 8 Desember bahwa operasi pertamanya yang menargetkan kejahatan siber yang dipicu oleh perdagangan manusia menunjukkan bahwa industri kriminal ini kini menjadi global. Kejahatan ini bahkan meluas di luar asalnya di Asia Tenggara, dengan pusat-pusat penipuan muncul hingga ke Amerika Latin.
Badan koordinasi polisi global tersebut menyatakan bahwa penegakan hukum dari lebih dari 20 negara pada Oktober melakukan inspeksi di ratusan titik panas perdagangan dan penyelundupan, banyak di antaranya dikenal sebagai tempat yang digunakan untuk memperdagangkan korban untuk melakukan penipuan online "secara massal, sambil menderita penyalahgunaan fisik yang parah".
Operasi yang terkoordinasi ini, yang menghasilkan ratusan penangkapan, menunjukkan "jejak geografis yang semakin meluas" dari kejahatan tersebut. Contohnya termasuk warga Malaysia yang dipikat ke Peru dengan janji pekerjaan yang berbayaran tinggi dan warga Uganda yang dibawa ke Dubai lalu Thailand dan Myanmar, di mana mereka dikurung di bawah penjagaan bersenjata dan diajari untuk menipu bank.
Meskipun sebagian besar kasus masih terjadi di Asia Tenggara, Rosemary Nalubega, Asisten Direktur Komunitas Rentan di Interpol, menyatakan dalam sebuah pernyataan bahwa "modus operandi ini menyebar, di mana korban berasal dari benua lain dan pusat-pusat penipuan baru muncul hingga Amerika Latin."
BACA JUGA:
Fenomena ini muncul di Asia Tenggara, di mana PBB menyebutkan bahwa ratusan ribu orang telah diperdagangkan oleh geng kriminal dan dipaksa untuk bekerja di pusat-pusat penipuan dan operasi online ilegal lainnya yang muncul dalam beberapa tahun terakhir.
"Pusat penipuan yang berkembang pesat ini menghasilkan miliaran dolar AS setiap tahun," kata PBB.
Sebuah penyelidikan Reuters bulan lalu mengungkap kemunculan kejahatan ini dan pembiayaannya, menguji bagaimana akun kripto yang terdaftar atas nama warga China di Thailand telah menerima jutaan dolar dari dompet kripto yang firma analisis blockchain AS menyatakan terkait dengan penipuan. Salah satu korban adalah warga negara Amerika Serikat.