JAKARTA - Pasar kripto kembali menghijau dengan kenaikan harga Bitcoin yang mencapai 42.200 dolar AS atau sekitar Rp657 juta. Angka ini merupakan harga tertinggi Bitcoin sejak Mei 2022 silam.
Menurut Crypto Analyst Reku Fahmi Almuttaqin, selain optimisme terhadap persetujuan SEC untuk permohonan Exchange-Traded Fund (ETF) Bitcoin yang diagendakan pada bulan Januari 2024 mendatang, kenaikan ini juga didorong oleh sejumlah katalis.
Fahmi menjelaskan, faktor lain di balik kenaikan harga Bitcoin adalah rendahnya tekanan jual dari investor yang diukur berdasarkan data exchange netflow Bitcoin. Semakin rendah exchange netflow berarti semakin rendah pula kemungkinan investor untuk menjual aset.
“Hal ini menandakan investor lebih memilih untuk menyimpan atau hold Bitcoin yang dimiliki daripada menjualnya, meskipun harga sudah naik ke area 39.500 dolar AS (Rp612 juta) pada waktu itu,” tambah Fahmi.
Selain itu, sentimen selanjutnya yang mendongkrak harga Bitcoin adalah kepercayaan investor terhadap kabar akan dihentikannya siklus kenaikan suku bunga The Fed dan dimulainya siklus penurunan suku bunga pada kuartal pertama 2024.
“Investor mulai bersiap menghadapi siklus baru penurunan suku bunga tersebut dengan mulai mengambil posisi di aset kripto.” imbuhnya.
BACA JUGA:
Potensi Investasi: Investor Beli atau Jual?
Menurut Fahmi, Bitcoin yang menembus hingga 42.400 dolar AS (Rp657 juta) ini membuka peluang baik bagi investor berpengalaman maupun yang baru ingin memiliki Bitcoin.
Ketika respon investor cenderung stabil, ini membuka peluang bagi Bitcoin untuk melanjutkan tren bullish yang terbentuk. Oleh karena itu, situasi ini menggambarkan potensi bagi investor existing untuk kemungkinan reli yang lebih besar lagi.
“Sementara bagi investor yang baru ingin berinvestasi, saat ini masih tergolong cukup early untuk masuk ke pasar Bitcoin,” pungkasnya.