Jepang Perlu Memperluas Daya Komputasi untuk Bersaing dalam Kecerdasan Buatan
Hideki Murai, penasihat khusus Kecerdasan Buatan (AI) bagi Perdana Menteri Jepang, Fumio Kishida (foto: twitter @muraihideki)

Bagikan:

JAKARTA -Hideki Murai, penasihat khusus Kecerdasan Buatan (AI) bagi Perdana Menteri Jepang, Fumio Kishida, menyatakan bahwa negeri matahari terbit itu perlu segera meningkatkan daya komputasinya untuk bersaing menjadi pemimpin global dalam kecerdasan buatan.

"Prioritas utama pemerintah adalah daya komputasi. Kami merasa krisis yang nyata tentang hal itu," ungkap Murai, anggota Partai Demokrat Liberal yang juga memimpin tim strategi AI pemerintah, dalam sebuah wawancara dengan Reuters pada Selasa, 18 Juli. "Kami ingin menciptakan fondasi untuk era AI," tambahnya.

Jepang, sebagai negara ekonomi terbesar ketiga di dunia, dinilai telah lambat dalam berinvestasi di bidang ini dan ketinggalan Amerika Serikat dalam infrastruktur komputer AI. Sekitar 3.000 perusahaan di Jepang memiliki akses ke superkomputer di Institut Sains dan Teknologi Industri Maju Nasional (AIST) pemerintah yang menyediakan daya komputasi 0,8 eksaflops.

Angka tersebut hanya sepuluh persen dari daya komputasi yang diakses oleh OpenAI yang didukung Microsoft ketika menciptakan chatbot populer ChatGPT, menurut Kementerian Ekonomi Perdagangan dan Industri Jepang.

Satu eksaflop setara dengan 1 kuintiliun - atau 1.000.000.000.000.000.000 - kalkulasi per detik.

Menurut Murai, Untuk mengatasi kekurangan itu, Jepang berencana meningkatkan daya komputasi di AIST menjadi 2,8 eksaflops pada akhir 2024, dan memberikan subsidi kepada perusahaan seperti Sakura Internet  dan SoftBank Corp  untuk membangun superkomputer.

"Pemerintah Jepang juga dapat menyediakan data untuk melatih kecerdasan buatan, tetapi akan membiarkan bisnis-bisnis menciptakan model AI yang diharapkan oleh pemerintahan Kishida untuk mendorong inovasi," ungkap Murai, yang menyamakan strategi tersebut dengan cara Jepang mendukung superstar baseball Major League, Shohei Ohtani.

"Sepuluh tahun lalu, orang mungkin tidak akan percaya tentang ide pemain seperti Ohtani bermain di Major League dan itulah mengapa kami bekerja keras untuk menciptakan lingkungan yang akan memungkinkan seseorang seperti dia muncul di bidang AI," katanya.

Saat Jepang mempertimbangkan cara terbaik untuk memanfaatkan kecerdasan buatan, Jepang dan anggota lain dari G7, demokrasi industri, sedang mencari cara untuk mengurangi potensi gangguan sosial dan ekonomi yang mungkin juga disebabkan oleh AI.

"Mungkin ada perbedaan dalam pemikiran dan kebijakan seputar AI di antara negara-negara G7, tetapi kami bekerja bersama untuk mengurangi jarak antara perbedaan tersebut sebanyak mungkin," katanya.

Jepang lebih cenderung mengambil aturan AI yang lebih lunak daripada Uni Eropa, yang telah meluncurkan upaya untuk meyakinkan negara-negara Asia untuk mengikuti jejaknya dengan persyaratan ketat, termasuk perusahaan teknologi yang harus mengungkapkan materi berhak cipta yang digunakan untuk menghasilkan konten AI, dilansir oleh Reuters.

Uni Eropa ingin membuat Rancangan Undang-Undang AI-nya menjadi tolok ukur global pada teknologi yang berkembang pesat ini, seperti halnya undang-undang perlindungan data mereka yang telah membantu membentuk standar privasi global.