Bagikan:

JAKARTA - Mahasiswa Ilmu Komputer Universitas Stanford berusia 22 tahun, Bryan Chiang, tertarik untuk mengetahui apakah ChatGPT dapat membantu berkomunikasi dengan manusia lain. Untuk itu, dia menggunakan kacamata augmented reality dan laptopnya serta merekrut beberapa teman untuk mengembangkan yang disebutnya RizzGPT.

Kacamata augmented reality ini menggunakan desain monokel dari Brilliant Labs yang bersifat open source sehingga firmware-nya dapat dieksplorasi. Kacamata ini dilengkapi dengan kamera, mikrofon, dan proyektor internal yang menampilkan kata-kata di depan mata pengguna.

Ketika seseorang berbicara kepada pengguna, RizzGPT memantau percakapan melalui mikrofon, mengubahnya menjadi teks, dan mengirimkannya melalui WiFi ke ChatGPT, bot obrolan kecerdasan buatan OpenAI, untuk menghasilkan respons. Respons tersebut kemudian muncul setelah beberapa saat tertunda di layar kecil monokel.

"RizzGPT pada dasarnya menggunakan kecerdasan buatan untuk memberikan karisma sesuai permintaan. Ia mendengarkan percakapan yang sedang berlangsung dan memberi tahu Anda apa yang harus dikatakan selanjutnya," kata Chiang.

Dalam demonstrasi, Reuters bertanya kepada Chiang: "Apa yang Anda anggap sebagai kelemahan terbesar Anda?"

"Saya percaya kelemahan terbesar saya adalah saya bisa terlalu keras pada diri sendiri kadang-kadang. Saya selalu berusaha melakukan yang terbaik dan kadang-kadang saya bisa merasa terlalu lelah," kata Chiang membacakan jawaban dari monokel setelah sekitar lima detik.

"Keterlambatan dan responsnya belum terlalu alami atau karismatik. Namun, ini hanya prototipe yang bertujuan untuk menunjukkan apa yang mungkin dimungkinkan dengan teknologi ini," kata Chiang.

"Sudah lama sejak cara kita berinteraksi dengan komputer berubah," katanya. "Anda sedang menyaksikan konvergensi konektivitas 5G, kacamata AR, perangkat keras, dan kecerdasan yang bersatu untuk menciptakan cara baru berinteraksi dengan sistem ini, sebuah sistem operasi baru yang jauh lebih alami."

Menurutnya tujuannya bukan untuk sepenuhnya menggantikan percakapan manusia yang alami.

"Hanya dimaksudkan sebagai bantuan untuk membantu Anda memikirkan hal-hal yang mungkin telah terlupakan... Saya pikir dalam peran itu, alat ini bisa sangat membantu bagi orang-orang yang mengalami kecemasan sosial dan kesulitan berbicara dengan orang lain," ujarnya.