Mantan Bos Google Ungkap AI Sama Mematikannya dengan Senjata Nuklir untuk Perang
CEO Google Eric Schmidt, ingatkan bahasa AI.(foto: dok. Website Eric Schmidt)

Bagikan:

JAKARTA - ChatGPT belakangan menjadi alat berguna untuk membantu siswa mengerjakan tugas mereka, membuat puisi. Bahkan dapat menyelesaikan ujian universitas yang rumit. Tetapi, Kecerdasan Buatan (AI) di balik chatbot itu cukup menarik untuk keperluan militer.

Diungkapkan mantan CEO Google Eric Schmidt dalam wawancaranya dengan Wired, AI memiliki kekuatan untuk merevolusi peperangan modern. Menurutnya, Pentagon AS cukup lamban dalam beradaptasi dengan teknologi baru dan mereka harus meningkatkannya.

Schmidt, yang merupakan bos Google dari 2001 hingga 2015 dan kepala perusahaan induk Alphabet hingga 2020, mengatakan pemerintah AS perlu meningkatkan permainannya secara radikal terkait AI.

AI bisa menjadi apa yang dibutuhkan untuk memimpin perubahan itu. Faktanya, teknologi AI seperti drone dengan sensor, mungkin sama berdampaknya dengan senjata nuklir dalam hal mengubah keadaan perang.

"Sesekali, senjata baru, teknologi baru muncul yang mengubah banyak hal. Einstein menulis surat kepada Roosevelt pada tahun 1930-an yang mengatakan bahwa ada teknologi baru ini senjata nuklir yang dapat mengubah perang, yang itu jelas terjadi. Saya berpendapat bahwa otonomi (bertenaga AI) dan sistem terdesentralisasi dan terdistribusi sangat kuat," ujar Schmidt.

Dia menekankan, AS perlu meningkatkan kemampuan AI-nya dengan bekerja sama pada perusahaan teknologi besar atau AS akan gagal menghadapi penggunaan AI canggih oleh China.

"Kami menghadapi tantangan yang sangat signifikan dari pesaing yang sangat, sangat fokus yang tahu apa yang mereka lakukan," tegas Schmidt.

Schmidt yang juga pernah menjadi anggota pendiri Dewan Inovasi Pertahanan pemerintah AS pada 2016, percaya hambatan utama bagi militer AS untuk menggunakan AI secara efektif adalah birokrasinya yang terlalu lambat, menggambarkan militer sebagai manusia hebat di dalam sistem yang buruk.

Hal itu karena dapat memakan waktu berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun bagi Departemen Pertahanan AS untuk memperkenalkan teknologi yang baru.

Militer AS, dikatakan Schmidt harus meniru Ukraina, yang dengan cepat mulai menggunakan drone, pencetakan 3D, dan sistem medan perang baru sebagai tanggapan atas invasi Rusia tahun lalu.

Melansir DailyStar, Rusia sendiri sudah mulai mengerahkan AI ke medan perang. Bulan lalu, negara adidaya militer tersebut memamerkan tank robot pembunuh otonomnya yang dapat mengidentifikasi dan melenyapkan target menggunakan AI.

Robot Marker tak berawak dapat mengemudi sendiri bermil-mil jauhnya dan menyerang target secara otomatis hingga tiga hari menggunakan berbagai sensor dan robot pintar.