JAKARTA - Menurut sebuah studi terbaru, Korea Utara sedang mengembangkan kecerdasan buatan (AI) dan pembelajaran mesin untuk berbagai keperluan. Mulai dari cara menanggapi COVID-19 dan melindungi reaktor nuklir hingga simulasi perang dan pengawasan pemerintah.
Sanksi internasional yang diberlakukan terkait program senjata nuklirnya mungkin telah menghambat upaya Korea Utara untuk memperoleh perangkat keras AI, tetapi negara tersebut tampaknya tetap mengejar teknologi terkini, demikian tulis penulis studi, Hyuk Kim, dari James Martin Center for Nonproliferation Studies (CNS) di California.
"Upaya terkini Korea Utara dalam pengembangan AI/ML menunjukkan investasi strategis untuk memperkuat ekonomi digitalnya," tulis Kim dalam laporan yang mengutip informasi sumber terbuka termasuk media negara dan jurnal, dan diterbitkan pada hari Selasa 23 Januari oleh proyek 38 North.
Sebagian peneliti AI Korea Utara telah berkolaborasi dengan sarjana asing, termasuk di China, menurut temuan laporan itu.
Menurut laporan itu Korea Utara mendirikan Institut Riset Kecerdasan Buatan pada tahun 2013, dan dalam beberapa tahun terakhir, beberapa perusahaan telah mempromosikan produk komersial yang menampilkan AI.
Selama ini teknologi komunikasi sangat dibatasi dan dimonitor di Korea Utara yang otoriter. “Selama pandemi COVID-19, Korea Utara menggunakan AI untuk menciptakan model evaluasi penggunaan masker yang tepat dan memprioritaskan indikator gejala klinis infeksi,” ujar Kim dalam laporan tersebut.
Ilmuwan Korea Utara juga telah menerbitkan penelitian mengenai penggunaan AI untuk menjaga keamanan reaktor nuklir, tambah laporan tersebut.
Badan pengawas nuklir PBB dan para ahli independen mengatakan bulan lalu bahwa reaktor baru di kompleks nuklir Yongbyon Korea Utara tampaknya beroperasi untuk pertama kalinya, yang berarti sumber potensial lain dari plutonium untuk senjata nuklir.
“Pengembangan AI menimbulkan banyak tantangan,” tulis Kim. "Sebagai contoh, upaya Korea Utara dalam program simulasi perang menggunakan (pembelajaran mesin) mengungkapkan niat untuk lebih memahami lingkungan operasional terhadap potensi lawan."
"Selain itu, kolaborasi berkelanjutan Korea Utara dengan sarjana asing menimbulkan kekhawatiran terhadap rezim sanksi," tulisnya.