Bagikan:

JAKARTA - Dalam menghadapi perlambatan ekonomi global yang diprediksi akan terjadi pada 2023 mendatang, perlunya antisipasi dini dengan salah satunya melakukan transformasi digital.

Disampaikan Ekonom INDEF, Nailul Huda, transformasi digital diyakini dapat menjadi solusi bagi dunia bisnis dalam menghadapi ancaman perlambatan ekonomi.

Perlambatan ekonomi, menurut Nailul dampaknya akan dirasakan oleh seluruh industri, termasuk industri digital di Tanah Air. Hal itu juga membuat optimisme ekspektasi Gross Merchendise Value (GMV) menurun di 2025.

"Laporan 2021 dan 2022 yang saya ambil dari data yang dikeluarkan oleh Google, Temasek dan Bain menyebutkan potensi GMV pada 2025 mencapai 146 miliar dolar AS (setara Rp2,260 triliun). Namun, pada 2022 menurun menjadi 130 miliar dolar AS (setara Rp2,012 triliun)," ungkap Nailul dalam gelaran Digital Industry Forecast (DIECAST) 2023 yang digelar oleh Techbiz Indonesia, 5 Desember.

Nailul juga menyatakan, investasi di bidang digital paling tinggi memang berada di Singapura dan kedua adalah Indonesia. Tetapi pada 2022, persentase destinasi investasi ekonomi digital Indonesia mengalami penurunan.

Begitu pun dengan yang diungkapkan Country Lead ZOHO Indonesia, Handito Saroso , menurutnya investasi di bidang teknologi justru sangat dibutuhkan perusahaan saat mengalami kondisi sulit bukan malah mengurangi penggunaan teknologi.

"Karena ketika mereka menginvestasikan kepada teknologi ada banyak manfaat yang didapatkan seperti efisiensi biaya," ujar Handito.

Survei IDC Future Enterprise Resiliency & Spending 2022 – Wave 5 (2022) juga mengungkapkan lebih dari 60 persen organisasi di Indonesia, Malaysia, dan Singapura telah menetapkan program ketahanan infrastruktur digital sebagai prioritas tinggi menyusul ketidakpastian akibat ketegangan geopolitik, inflasi, gangguan rantai pasokan, dan pandemi COVID-19 yang masih berlangsung.

Sementara itu, bisnis teknologi sendiri disampaikan Handito pertumbuhannya masih sangat bagus. Berdasarkan data Gartner, pertumbuhan bisnis digital secara global tumbuh 5 persen.

Sedangkan di Indonesia sendiri bisnis digital masih bisa tumbuh dua digit. Menghadapi perlambatan ekonomi ini Handito menjelaskan, yang pertama harus dilakukan oleh dunia bisnis adalah mendefinisikan ulang terkait arah bisnis dan prioritas bisnis mereka.

"Banyak perusahaan digital yang sedang mengkondisikan ulang bisnis mereka untuk membenahi fudamentalnya. Jadi ketika marketnya naik lagi mereka jauh lebih siap dan mereka mempunyai runway yang lebih panjang," jelas Handito.

Yang kedua, Handito melanjutkan, pelaku bisnis harus meningkatkan pertumbuhan implementasi teknologinya di area yang saat ini belum terdigitalisasi. Bagi perusahaan yang sudah cukup mapan secara teknologi, mereka harus tetap melakukan peningkatan.

Seperti menggunakan teknologi yang lebih baru sehingga bisa membantu mereka berjalan lebih efisien atau mensubtitusi teknologi yang mereka gunakan dengan yang lebih affordable, tetapi secara fungsional masih sama seperti yang mereka miliki sekarang.

Hal senada juga disampaikan Ketua Umum Masyarakat Telematika (MASTEL) Sarwoto Atmosutarno yang menekankan, transformasi digital harus dapat diakselerasi lagi pertumbuhannya agar Pendapatan Domestik Bruto (PDB) dari sektor digital dapat meningkat.

Saat ini porsi PDB digital Indonesia kurang lebih 5,5 persen sedangkan PDB nilai pasar (benchmark OECD sebesar 30 persen), sementara pertumbuhan Industri Komputer dan Elektronika turun 0,51 persen (BPS 2019).

Untuk dapat mewujdkan digitalisasi ini, Sarwoto menegaskan perlu dilakukan beberapa langkah seperti mempromosikan teknologi baru baik dari sisi akses maupun jangkauan serta kapasitasnya.