Bagikan:

JAKARTA - Hacker telah menargetkan platform komunikasi yang digunakan oleh personel militer dan staf pertahanan Australia dengan serangan ransomware. Hal ini dikatakan oleh pihak berwenang di negeri Kanguru itu pada Senin, 31 Oktober, pada saat negara itu memerangi lonjakan serangan siber yang terjadi baru-baru ini di seluruh sektor bisnis.

Layanan ForceNet, salah satu penyedia eksternal yang dikontrak departemen pertahanan untuk menjalankan salah satu situs webnya, telah diserang hacker. Namun menurut Asisten Menteri Pertahanan Matt Thistlethwaite, sejauh ini tidak ada data yang dikompromikan,

 "Saya ingin menekankan bahwa ini bukan serangan atau pelanggaran sistem dan entitas (teknologi) pertahanan," kata Thistlethwaite kepada Radio ABC. "Pada tahap ini, tidak ada bukti bahwa kumpulan data telah dilanggar, itu adalah data yang dipegang perusahaan ini atas nama pertahanan".

Namun beberapa informasi pribadi seperti tanggal lahir dan rincian pendaftaran personel militer mungkin telah dicuri. Ini dilaporkan oleh Australian Broadcasting Corp  yang mengutip sumber tak dikenal yang mengetahui penyelidikan tersebut.

Thistlethwaite mengatakan pemerintah akan menangani insiden itu dengan "sangat serius" dan semua personel pertahanan telah diberitahu, dengan saran untuk mempertimbangkan agar mengubah kata sandi mereka.

Seorang juru bicara departemen Pertahanan juga mengatakan kepada Reuters dalam sebuah pernyataan email bahwa departemen sedang memeriksa isi dari kumpulan data yang terkena dampak dan informasi pribadi apa yang dikandungnya.

Perangkat lunak tebusan bekerja dengan mengenkripsi data korban dan peretas biasanya akan menawarkan kunci kepada korban dengan imbalan pembayaran cryptocurrency yang dapat mencapai ratusan ribu atau bahkan jutaan dolar.

Beberapa perusahaan terbesar Australia, termasuk perusahaan telekomunikasi terbesar kedua, Optus, yang dimiliki oleh Singapore Telecommunications Ltd, dan perusahaan asuransi kesehatan terbesar di negara itu, Medibank Private Ltd dalam sebulan terakhir telah diretas dan datanya yang dicuri, kemungkinan mengungkap rincian jutaan pelanggan mereka.

Pakar teknologi mengatakan Australia telah menjadi sasaran serangan siber saat mereka kekurangan tenaga kerja keamanan siber yang terampil. Bahkan tenaga yang tidak terampil ini dipaksa terlalu banyak bekerja sehingga tidak siap untuk menghentikan serangan siber yang muncul.