JAKARTA - Sentinel 3 adalah sebuah satelit yang memiliki misi utama dalam studi kelautan, yang dikembangkan oleh European Space Agency (ESA). Satelit ini sebagai bagian dari Program Copernicus. Namun, ia juga mampu memberikan data tentang atmosfer dan massa daratan.
Sentinel 3A diluncurkan pada 16 Februari 2016, dengan kembarannya, Sentinel 3B, tiba di orbit pada 25 April, satelit pengamatan Bumi Sentinel ketujuh milik Esa. Kedua satelit mengorbit 506 mil (815 km) di atas Bumi, di sisi berlawanan dari planet ini.
Program Copernicus multi-miliar bertujuan untuk membantu memprediksi fenomena cuaca seperti El Nino dan melacak kemajuan pemanasan global.
Data mereka juga dapat membantu perusahaan pelayaran memetakan rute yang lebih efisien dan dapat digunakan untuk memantau kebakaran hutan, polusi air, dan tumpahan minyak.
Proyek Copernicus digambarkan oleh ESA sebagai program pengamatan Planet Bumi yang paling ambisius hingga saat ini. Uni Eropa dan ESA telah berkomitmen untuk mendanai lebih dari delapan miliar euro (Rp 146,7 triliun) hingga 2020.
BACA JUGA:
Peluncuran proyek Copernicus menjadi sangat mendesak setelah Eropa kehilangan kontak dengan satelit pengamatan Bumi, Envisat pada 2012 setelah 10 tahun.
Sentinel-3 memanfaatkan beberapa instrumen penginderaan untuk mencapai tujuannya. Ini adalah: radiometer suhu permukaan laut dan darat (SLSTR), instrumen warna laut dan darat (OLCI), altimeter SAR (SRAL), orbitografi doppler dan radioposisi terintegrasi oleh satelit (DORIS), dan radiometer gelombang mikro (MWR).
Menurut laporan Daily Mail, satelit ini sangat berguna dalam memetakan suhu panas daratan di Bumi. Apalagi pada saat ini ketika gelombang panas menyapu sebagian besar daratan Eropa.