Bagikan:

JAKARTA - Penyebaran disinformasi dan kabar hoaks terkait COVID-19 di Indonesia masih sangat tinggi, tercatat 1.759 konten yang diblokir Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).  

Direktur Jendral Aplikasi dan Informatika Kominfo (Dirjen Aptika), Samuel Abrijani Pangerapan menuturkan saat ini terdapat tiga jenis infodemi yang tersebar luas di masyarakat. Di mana 2.020 hoaks tersebut masuk dalam 1.197 kategori, dengan 1.759 hoaks di antaranya sudah di-take down dari internet.

"Ini telah menjadi masalah baru selain pandemi COVID-19 itu sendiri. Ada tiga jenis, pertama jenis disinformasi yang sengaja dibuat untuk mendistruksi informasi yang beredar, atau memberikan informasi yang salah akhirnya berbahaya bagi masyarakat," ungkap Samuel saat konferensi pers secara daring, Senin 19 Oktober.

"Kedua adalah malinformasi, informasinya ada aktual tapi dia menargetkan orang-orang tertentu dengan tujuan tertentu. Hal ketiga juga terkait dengan misinformasi yang tidak tepat, tidak adanya kesengajaan," lanjutnya.

Samuel menambahkan, saat ini pihaknya telah dalam proses pengendalian, bukan untuk membatasi masyarakat terhadap kebebasan berekspresi atau kebebasan berpendapat. Tetapi karena situasi pandemi ini, semuanya perlu meluruskan informasi yang salah agar tidak membuat keresahan di masyarakat, apalagi mengganggu ketertiban umum.

"Contoh infodemi, pemahaman masyarakat yang tidak lengkap. Stigma terhadap Rumah Sakit, tenaga medis, dan proses yang sudah dibakukan, ini yang menjadi berbahaya bagi masyarakat jika akhirnya membuat stigmatis," ujar Samuel.

Semuel menyebut, saat ini WHO memunculkan istilah baru bernama infodemi untuk kabar atau informasi yang tidak benar seputar pandemi COVID-19. Terkait hoaks ini, Semmy mengatakan perlu adanya literasi peran masyarakat terkait bagaimana memahami hoaks-hoaks yang beredar.

"Apabila benar-benar meresahkan masyarakat, akan ada aparat hukum yang menindaknya, kita juga memberikan kemudahan pada instansi untuk melakukan klarifikasi, supaya tidak berdampak buruk bagi masyarakat," jelas Semmy.

Selain itu, masyarakat juga harus teliti menerima sumber-sumber informasi. Semmy menjelaskan bahwa masyarakat harus jeli betul siapa yang memberikan pemberitaan ini. Jangan asal terima ketika melihat sumber itu tidak memiliki kredensial.

"Apabila menemukan hal ini, ada keraguan bisa melakukan aduan kepada kami. Dan kami selalu verifikasi. Tak serta merta pemerintah melihat ditengarai hoaks lalu ambil tindakan. Kita selalu lakukan verifikasi, yang dilakukan dengan beberapa pihak," kata Semmy.

Tidak sampai di situ, Semmy menyatakan bahwa Kominfo tidak serta merta langsung mengambil tindakan hukum, melainkan melakukan pendekatan yang lain.

"Kami hanya melakukan tindakan hukum kalau itu berakibat benar-benar bisa meresahkan masyarakat umum. Itu biasanya polisi sudah mengambil langkah. Tapi kami lebih senang melakukan literasi kepada masyarakat seperti tadi kita melabeli hoaks," tutur Semmy.

Begitupun dengan tindakan memblokir media sosial, menurut Semmy hal itu tidak bisa dilakukan tergesa-gesa, harus mengikuti peraturan yang ada.

"Kami tak serta merta blokir. Ada tahapannya. Apabila sosmed tidak bisa kolaborasi dengan kita, ada buktinya, ini adalah hoaks, meresahkan, ada tindakan. SOP ada, protokol ada. Pemerintah tak bisa tiba-tiba menutup tanpa alasan yang jelas," pungkas Semmy.

Sebagai informasi, hingga saat ini Kominfo sudah berkolaborasi dengan 108 organisasi, di antaranya adalah pemerintahan, organisasi masyarakat, Perguruan Tinggi dan sektor swasta. Hal ini dilakukan karena mereka dianggap memiliki tanggung jawab bersama.