Bagikan:

JAKARTA - Beredar kabar jika Kementerian Komunikasi dan Informatika (kominfo) akan memblokir media sosial (medsos). Isu tersebut berkembang seiring dengan maraknya aksi massa di berbagai daerah yang menolak rancangan Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law. 

Menkominfo Johnny G Plate membantah isu tersebut, justru yang akan dilakukannya adalah membersihkan kabar dan informasi hoaks terkait UU Cipta Kerja. Di mana menjadi bagian patroli dari tim AIS Kominfo. 

"Hoaks. Tugas AIS Kominfo ( Patroli Siber Komifo) adalah untuk menjaga ruang digital agar tetap bersih dan sehat. Demikian amanat UU ITE kepada Kominfo," kata Johnny G Plate seperti dikutip dari Antara, Jumat, 9 Oktober. 

Hal ini menjawab isu yang ramai di Twitter terkait kicauan dari akun @PartaiSocmed yang menyebutkan jika Kemenkominfo akan melakukan pemblokiran media sosial sebagai akibat aksi menolak Omnibus Law. Tweet tersebut telah di-like lebih dari 61,2 orang dan dire-tweet 24.000 kali, dengan 8,5 ribu komentar.

Sejatinya pembatasan media sosial memang pernah terjadi beberapa kali pada 2019 lalu. Di mana Kemenkominfo melakukan throttling atau pelambatan akses/ bandwith internet terkait kericuhan di Kota Wamena, Papua. 

Hal serupa juga diduga terjadi saat demo mahasiswa di DPR/MPR RI. Termasuk ketika pemerintah membatasi penggunaan media sosial untuk memerangi hoax di tengah kerusuhan massa yang menolak hasil rekapitulasi pemilu yang diumumkan Komisi Pemilihan Umum.

Lantas, apakah pemerintah diperbolehkan melakukan pemblokiran media sosial ini? Pengamat media sosial, Eddy Yansen mengatakan kalau hal ini sah-sah saja dilakukan oleh Kominfo demi mengendalikan informasi yang salah.

"Selama para konglomerasi teknologi tidak mampu memiliki kendali dan policy yang benar-benar efektif mengendalikan ujaran kebencian dan hoaks, maka pemerintah memang boleh melakukan upaya upaya yang mengendalikan hal tersebut," ujar Eddy kepada VOI.

Eddy menjelaskan pada October ini, tiga platform raksasa yakni Facebook, Google, dan Twitter memang sedang memberikan perhatian serius dalam mengendalikan penyebaran ujaran kebencian dan misinformasi atau hoaks. Sehingga langkah Kominfo untuk memerangi hoaks dan informasi menyesatkan, sejalan dengan apa yang dilakukan tiga platform media sosial tersebut.

"Dalam hal di sini kekuatan pemerintah karena tidak mungkin bisa mencampuri policy internal perusahaan seperti FB, Google, Twitter, maka jalan pemerintah tentunya hanyalah melakukan pemblokiran, secara keseluruhan sementara waktu," jelas Eddy.

Sebagai catatan, Eddy menuturkan kemerdekaan dalam berdemokrasi informasi juga memiliki sisi negatif, seperti halnya campur tangan negara lain dalam penyebaran propaganda dan missinformasi akan semakin mudah dilakukan, bila semua jalur informasi dibiarkan terbuka tanpa pertahanan.

"Untuk itu saya melihat ke depannya sangat dibutuhkan regulasi-regulasi yang mengikat bukan hanya pengguna (user) tetapi termasuk penyedia platform (FB, Google, Twitter), karena seperti halnya perusahaan media yang pemberitaannya tunduk pada kode-kode etik jurnalistik," tambahnya.