JAKARTA – Peritel video game GameStop Corp pada Kamis, 17 Maret melaporkan kerugian bersih untuk kuartal keempat, karena biaya tinggi dari kendala pasokan dan juga meningkatkan pengeluaran untuk memutar sebagian besar bisnis bata-dan-mortir menuju e-commerce.
Saham perusahaan, selama tahun 2021, turun 7% dalam perdagangan yang diperpanjang. "Kombinasi masalah rantai pasokan dan varian Omicron memiliki dampak yang cukup besar pada musim liburan tahun lalu," kata Chief Executive Officer, Matt Furlong, pada konferensi panggilan pendapatan.
Biasanya, kuartal liburan adalah saat yang kuat bagi perusahaan, karena Xbox dan Playstation baru diluncurkan dan permintaannya tinggi. Akan tetapi kekurangan komponen dan masalah rantai pasokan lainnya, yang melanda pembuat konsol seperti Sony dan Microsoft, telah memengaruhi bisnis GameStop.
Seperti banyak pengecer lain, GameStop telah menderita ketika pandemi mendatangkan malapetaka dengan pembatasan yang mengarah ke penutupan toko. Penyebaran varian Omicron semakin memperburuk situasi tersebut.
Penjualan bersih perusahaan naik 6,2% menjadi 1,88 miliar dolar AS (Rp 27 triliun), sementara laba kotornya turun 15,7% selama kuartal yang berakhir 29 Januari.
Analis Wedbush Securities, Michael Pachter, mencatat bahwa laba kotor perusahaan turun "karena margin kotor yang sangat buruk."
"Kemungkinan penjualan game bekas lebih rendah dan margin lebih rendah dari biasanya dan penjualan perangkat keras lebih tinggi dari biasanya," ujar Pachter, seperti dikutip Reuters.
BACA JUGA:
GameStop juga telah meningkatkan pengeluaran untuk merekrut bakat, memperluas kapasitas, menumbuhkan kehadiran e-commerce dan juga memperkenalkan produk baru untuk meningkatkan kehadiran digitalnya.
Perusahaan pada Kamis lalu juga mengatakan akan meluncurkan pasarnya untuk token atau NFT, yang tidak dapat dipertukarkan, pada akhir kuartal kedua tahun fiskal 2022.
Perusahaan membukukan rugi bersih 147,5 juta dolar AS (Rp 2,1 triliun), atau 1,94 dolar AS per saham, selama kuartal tersebut, dibandingkan dengan laba 80,5 juta dolar AS (Rp1,1 triliun), atau 1,19 dolar AS per saham, setahun sebelumnya.