JAKARTA - Rusia kembali mengambil tindakan tegas terhadap sejumlah perusahaan media sosial pada Selasa, 1 Maret. Seorang pejabat Kementerian Luar Negeri Rusia, juga menuduh Meta, Google dan raksasa teknologi Barat lainnya menghasut perang.
Regulator komunikasi Rusia, Roskomnadzor, juga memberlakukan kembali perlambatan kecepatan pemuatan Twitter di komputer. Ini merupakan “hukuman lama” untuk Twitter. Sebelumnya platform microblogging itu pernah mendapatkan sanksi serupa, namun dicabut oleh Rusia pada bulan Mei 2021.
Sanksi untuk Twitter ini diterapkan kembali karena Roskomnadzor, menuduh perusahaan AS itu gagal menghapus apa yang mereka sebut sebagai posting palsu tentang "operasi khusus" Rusia di Ukraina . Sementara pihak Twitter menolak berkomentar tentang sanksi terbaru yang mereka terima dari Rusia.
Rusia sebelumnya, telah membuat lemot Twitter di perangkat seluler selama hampir satu tahun. Ini menjadi bagian dari kampanye yang lebih luas terhadap kontrol internet yang menurut para kritikus mengancam kebebasan individu dan perusahaan.
Selain Twitter, Moskow juga telah membatasi sebagian akses Facebook. Ini terjadi, karena perusahaan induk Facebook, Meta Platforms Inc, telah menolak permintaan pemerintah Rusia untuk menghentikan pemeriksaan fakta independen dari beberapa media pemerintah Rusia. Banyak di antara media pemerintah Rusia itu telah menghadapi pembatasan di Ukraina dan di seluruh dunia karena negara-negara Barat terus mencari dan melumpuhkan pesan-pesan yang disebarkan oleh Kremlin.
Roskomnadzor mengatakan pada Selasa lalu bahwa pihaknya telah menulis kepada Meta yang isinya menuntut penghapusan segera pembatasan pada outlet media yang didukung pemerintah Rusia, seperti RT dan Sputnik, di Facebook dan Instagram.
Anna Belkina, wakil pemimpin redaksi RT, mengatakan tidak ada bukti yang diberikan tentang ketidakakuratan dalam pelaporan RT. Dia mengatakan pendirian Barat tampaknya takut dengan perspektif alternatif dari media mereka.
"Apa yang gagal mereka sadari adalah bahwa ruang gema mereka sendirilah yang menyemai ketidakpercayaan publik yang telah lama mereka sesali. Mereka akan menuai apa yang mereka tabur," katanya.
Oleg Gavrilov, wakil kepala departemen informasi dan pers kementerian luar negeri Rusia, mengatakan perilaku raksasa teknologi AS, terutama Google Meta dan Alphabet Inc, tidak dapat diterima.
"Aktivitas propaganda yang bermusuhan dilakukan secara terbuka di platform sosial mereka, sumber informasi Rusia diblokir, akses ke media domestik dibatasi secara besar-besaran," katanya seperti dikutip kantor berita Interfax.
Gavrilov mengatakan sebuah sistem harus dibuat untuk "meminta pertanggungjawaban para penghasut perang asing melawan Rusia" dalam rangka memperkuat keamanan Rusia. Menyikapi tuduhan itu, Google dan Meta belum mau memberikan komentar.
Kedua perusahaan tersebut termasuk di antara segelintir perusahaan internet asing yang saat ini menghadapi kemungkinan tindakan hukuman di Rusia setelah dinilai gagal membuka kantor lokal. Mereka juga dianggap belum mengambil tindakan lain seperti yang diwajibkan oleh undang-undang komunikasi, setelah tenggat waktu untuk melakukannya berakhir pada Senin lalu.
BACA JUGA:
Saat ini di Rusia kecepatan pengguna untuk mengakses Facebook dan Twitter sudah diperlambat sejak Selasa, 1 Maret. Bahkan Facebook sudah tidak tersedia di beberapa perangkat. Fakta ini menunjukkan peningkatan kemampuan pemblokiran Moskow sejak upaya mereka yang gagal dalam membatasi akses ke aplikasi perpesanan Telegram pada 2018.
Tekanan yang meningkat pada perusahaan teknologi asing telah meningkatkan peluang bahwa perusahaan tersebut dapat meninggalkan pasar Rusia. Langkah ini bisa terjadi baik melalui pengusiran oleh Moskow atau secara sukarela di bawah tekanan dari pemerintah Barat.
Konsultan industri John Strand mengatakan waktu ketika perusahaan global dapat fokus pada keuntungan dan tetap pasif terhadap agresi dan otokrasi, telah lama berlalu. Dia mengatakan Rusia memandang orang-orang seperti Facebook dan Google sebagai ancaman terhadap kontrolnya atas komunikasi.
"Perang di Ukraina dan media sosial bukanlah koktail terbaik saat ini," kata Strand kepada Reuters. "Perusahaan Barat harus membuat pilihan: apakah mereka ingin melakukan bisnis di Rusia dalam kondisi saat ini dan masa depan atau akankah mereka berhenti beroperasi di sana?".