OTT dan Pemberantasan Korupsi
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (Antara)

Bagikan:

Selain pencegahan, salah satu langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menjalankan tugasnya adalah melakukan penindakan berupa operasi tangkap tangan (OTT). Aksi ini sudah sering berjalan dan kerap juga menjadi headline di berbagai media. Apalagi jika tokoh yang terkena OTT merupakan orang terkenal atau pejabat tinggi. Langkah yang dipuji banyak pihak. Karena biasanya sangat jarang orang yang tertangkap tangan bisa lepas dari jeratan hukum.

Anehnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) justru mempertanyakan langkah tersebut. Menurut LBP, OTT itu tidak bagus karena membuat jelek. Kalau digitalisasi, tidak ada yang bisa lawan. Hal tersebut disampaikan LBP saat melakukan paparan di acara Peluncuran Aksi pencegahan Korupsi 2023-2024 pekan lalu.

Sontak pernyataan LBP tersebut menimbulkan kontroversi. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengaku sulit memahami logika berpikir LBP. Ia mengaku bingung dengan pernyataan LBP yang menyebut OTT KPK membuat citra Indonesia buruk di mata dunia. Dalam pandangan ICW, ketika penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi maksimal dilakukan maka dengan sendirinya citra Indonesia akan membaik dan diikuti dengan apresiasi dari dunia.

Lantaran itu, Kurnia seperti dimuat di VOI menyarankan agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegur Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan usai bicara soal tangkap tangan (OTT) membuat citra negara buruk di mata internasional. LBP dianggap mencampuri urusan aparat penegak hukum.

Hal serupa juga disampaikan Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM). Seperti yang disampaikan Peneliti Pukat UGM Zaenur Rohman, pernyataan Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan jika operasi tangkap tangan (OTT) beri citra buruk tidak tepat. Operasi senyap yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebenarnya memberi efek jera.

Malah menurut Zaenur, operasi senyap yang dilakukan komisi antirasuah juga tak bisa dianggap sebagai sebuah opsi. Sebuah keharusan bagi KPK untuk melakukannya ketika benar terjadi sebuah tindak pidana.

Bahkan Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin mengatakan hal yang senada. Menurut Wapres, OTT yang dilakukan KPK masih diperlukan berbarengan dengan penerapan pencegahan dan pendidikan antikorupsi. Dikatakan Wapres, kalau pencegahan dan pendidikan ini sudah berhasil mungkin penindakan itu bisa tidak ada atau minim. Tapi kalau pendidikan dan pencegahan masih belum berhasil akibatnya ada penindakan. Jadi bagaimana agar tidak lagi terjadi penindakan maka harus lebih masif di pendidikan dan pencegahan. Wapres mengungkapkan, di berbagai negara, tiga metode tersebut juga digunakan untuk memberantas korupsi.

Tidak bisa dipungkiri, tindak pidana korupsi merupakan persoalan serius di Indonesia. Selama 18 tahun terakhir, sejak 2004 hingga Oktober 2022, melansir dari katadata, tercatat KPK telah menangani 1.310 kasus tindak pidana korupsi. Penyuapan merupakan tindak pidana korupsi yang paling banyak ditangani KPK dengan 867 kasus.

Laporan KPK mencatat bahwa tindak pidana korupsi mayoritas dilakukan di instansi pemerintah kabupaten/kota yakni sebanyak 537 kasus. Diikuti oleh instansi kementerian/lembaga dan pemerintah provinsi masing-masing 406 kasus dan 160 kasus.

Jadi, OTT memang masih harus dilakukan sebagai bentuk penindakan. Atau malah kalau bisa sekalian saja, jika terbukti, diterapkan saja pelaku koruptor dihukum mati. Toh, hukuman mati bagi koruptor di Indonesia sebenarnya sudah diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (*)