Pekan lalu Presiden Joko Widodo (Jokowi) memanggil menteri untuk rapat membahas soal ancaman inflasi. Seperti disampaikan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, tingkat inflasi di Indonesia per Juli 2022 mencapai 4,94 persen melebihi batas atas sasaran 3 persen plus minus 1 persen. Menurut Perry, hal itu terutama disebabkan tingginya inflasi kelompok pangan yang bergejolak mencapai 11,47 persen melampaui proyeksi 5-6 persen.
Dalam rapat tersebut presiden meminta perhatian khusus ke kepala daerah untuk memantau inflasi di wilayah yang dipimpin. Lebih khusus lima daerah dengan laju inflasi tertinggi saat ini yakni Jambi sebesar 8,55 persen, Sumatera Barat 8,01 persen, Bangka Belitung 7,77 persen, Riau 7,04 persen, dan Aceh 6,97 persen.
Kelima daerah tersebut masuk dalam 30 daerah yang menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, tingkat inflasinya berada di atas inflasi nasional 4,94 persen pada Juli 2022.
Presiden Jokowi pun memerintahkan agar seluruh pemerintah daerah baik tingkat kabupaten/kota maupun provinsi untuk bekerja sama dengan Tim Pengendalian Inflasi Pusat (TPID) dan daerah (TPID) guna menekan laju inflasi.
Presiden Jokowi juga meminta kepala daerah menggunakan pos anggaran belanja tidak terduga dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) masing-masing untuk berbagai kebijakan dalam menekan laju inflasi di wilayahnya. Jokowi mengaku sudah memerintahkan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian untuk mengeluarkan regulasi terkait hal tersebut.
Presiden Jokowi perlu membahas soal ancaman inflasi ini karena seperti disampaikan Ketua MPR Bambang Soesatyo, Indonesia harus hati-hati karena bisa saja inflasi mencapai dua digit. Apalagi ekonomi dunia juga lagi tidak bagus. Krisis pangan mengancam. Perang Rusia - Ukraina masih belum reda.
Di tengah situasi tersebut Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan malah mengumunkan pemerintah bakal menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi Pertalite dan Solar. Ini diprediksi bakal menurunkan pertumbuhan ekonomi yang mencapai 5,4 persen.
Sejumlah pengamat ekonomi di media mengatakan, kenaikan BBM bersubsidi di masa sekarang kurang tepat dan mesti disikapi dengan hati-hati. Karena dampaknya bakal mengganggu. Ada 70 persen pengguna Pertalite. Diprediksi kenaikan Pertalite yang mencapai Rp10 ribu per liter bakal menurunkan daya beli masyarakat yang ujungnya bakal memicu inflasi yang sudah mendekati 5 persen. Apalagi saat ini masyarakat belum sepenuhnya pulih dari pandemi COVID-19 dan juga tengah menghadapi kenaikan harga pangan.
Pengamat Ekonomi dari UGM, Fahmy Radhi seperti dimuat voi.id mengatakan, ketimbang menaikkan Pertalite ia menyarankan pemerintah untuk lebih mengatur soal subsidi BBM yang diyakininya sekitar 60 persen belum tepat sasaran. Menurutnya MyPertamina tidak akan efektif membatasi BBM agar tepat sasaran dan bahkan menimbulkan ketidakadilan dengan penetapan kriteria mobil 1.500 CC ke bawah yang berhak mengunakan BBM subsidi.
Pembatasan BBM subsidi paling efektif pada saat ini menurut Fahmy adalah menetapkan kendaraan roda dua dan angkutan umum yang berhak menggunakan Pertalite dan Solar. Di luar sepeda motor dan kendararan umum, konsumen harus menggunakan Pertamax ke atas. Pembatasan itu, selain efektif juga lebih mudah diterapkan di semua SPBU.
Untuk itu, kata dia, kriteria sepeda motor dan kendaraan umum yang berhak menggunakan BBM subsidi sebaiknya segera dimasukkan ke dalam Perpres No 191 tahun 2014 sebagai dasar hukum.
Pemerintah sendiri beralasan kalau BBM bersubsidi, Solar dan Pertalite mesti naik merespon dari tingginya harga minyak mentah dunia. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pagu anggaran APBN untuk subsidi dan kompensasi energi sebesar Rp502 triliun. Jika volume penyaluran BBM bersubsidi meningkat dapat menyebabkan subsidi dan kompensasi melebihi pagu anggaran.
Pertamina mencatat penyaluran BBM jenis Pertalite hingga Juli 2022 sudah mencapai 16,8 juta kiloliter (kl). Artinya kuota BBM bersubsidi hanya tersisa 6,2 juta kl dari kuota yang ditetapkan sebesar 23 juta kl pada tahun ini.
Beban pemerintah memang berat menanggung biaya subsidi tapi seperti kata pengamat ekonomi, menaikkan BBM bersubsidi dampaknya akan dirasakan langsung ke daya beli masyarakat yang menurun serta meningkatkan jumlah orang miskin baru. Juga diprediksi bakal memicu inflasi. Seperti diuraikan di awal, hal yang menjadi perhatian khusus Presiden Jokowi.
Jadi memang harus ada solusi kongkrit. Ada baiknya pemerintah lebih memastikan dan memperketat pengawasan agar BBM bersubsidi tepat sasaran. Untuk meringankan beban APBN pemerintah juga melakukan penghematan belanja pegawai, belanja barang dan jasa. Kalau pun terpaksa BBM bersubsidi naik, yah pemerintah harus memikirkan bentuk subsidi lain untuk meringankan beban masyarakat.