Bagikan:

JAKARTA – Banyaknya lembaga tinju di Indonesia dinilai bisa merugikan petinju profesional. Kerugian itu bisa berujung fatal seperti kehilangan nyawa.

Hal itu disampaikan oleh dokter ring dr. Putu Agus Parta Wirawan dalam acara “Diskusi Keselamatan Tinju dan Masa Depan Tinju Indonesia” di Holywings Gatot Subroto V, Jakarta Selatan, pada Kamis, 17 Maret.

”Komisi tinju yang banyak bisa merugikan petinju. Karena saya juga di ATI (Asosiasi Tinju Indonesia), KTI (Komisi Tinju Indonesia) dan FTPI (Federasi Tinju Profesional Indonesia),” ujar Putu yang tercatat punya lisensi BOPI dan pernah ikut konvensi WBA.

Saat ini di Indonesia sendiri punya lembaga independen yang menangani tinju profesional. Selain KTI, ATI, serta FTPI, masih ada dua lembaga lain, yakni Komisi Tinju Profesional Indonesia (KTPI) dan Federasi Tinju Indonesia (FTI).

Puju menjelaskan bahwa ketika masih ada acara Ring Tinju di TVRI, frekuensi bertarung seorang petinju bisa berlebihan. Petinju yang sama bisa bertarung membawa nama lembaga berbeda dalam acara yang berdekatan.

”Waktu ring tinju TVRI, hari ini KTI petinjunya ini, nanti dia di ATI main lagi. Kalau petinju enam kali kalah angka berturut-turut, dia harus stop enam minggu. Siapa yang mau catat sekarang. BOPI sudah dibubarkan,” katanya.

Selain banyaknya lembaga tinju, ketiadaan Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) juga menjadi masalah. Badan yang bertugas melakukan pembinaan dan pengawasan ini sudah dibubarkan oleh Presiden Joko Widodo seiring terbitnya Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2020 lalu.

Tidak adanya lembaga pengawas membuat kesulitan di berada pihak dokter-dokter ring seperti Putu dalam melihat frekuensi pertandingan seorang petinju sebelum naik ring. Padahal, petinju profesional seharusnya punya buku hitam yang memuat catatan pertandingan masing-masing petinju sebagai syarat mutlak sebelum bertarung.

Jika seorang petinju baru kalah KO pertama maka ia harus istirahat 45 hari. Jika kalah (KO) dua kali beruntun, yang bersangkutan harus istirahat 90 hari.

Kemudian andai kalah KO beruntun ketiga kalinya maka petinju harus menjalani 180 hari untuk beristirahat. Adapun jika seorang petinju kalah KO sampai empat kali maka ia harus stop jadi petinju. Catatan seperti itu bisa diketahui jika seorang petinju punya buku hitam.

”Petinju profesional itu punya lisensi sehingga dia dapat buku hitam. Sekian kali bertanding dia punya buku hitam. Itu catatan bertanding petinju ada di situ. Saya sebagai dokter ring sekarang kesulitan. Kita tidak bisa tahu. Petinju bersangkutan kalah angka atau kalah knockout (KO),” ujar Putu.

Masalah terkait buku hitam ini mencuat kembali setelah petinju Indonesia Hero Tito meninggal beberapa waktu lalu. Petinju asal Malang itu sebelumnya menjalani pertandingan yang terlalu banyak bahkan berlebihan.

Hero meninggal setelah menderita koma usai kalah KO pada ronde ketujuh dari James Mokoginta dalam pertarungan di Holywings Club, Kawasan Pusat Bisnis Sudirman (SCBD) Jakarta pada Minggu malam 27 Februari 2022.