JAKARTA - Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu Dan/Atau Musik disambut baik oleh Ketua Umum Lembaga Manajemen Kolektif Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu dan Pemusik Republik Indonesia (PAPPRI) Dwiki Dharmawan.
Dia mengatakan, peraturan pemerintah ini memperkuat isi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 mengenai Hak Cipta
"Semua undang-undang tentunya baru bisa diimplementasikan secara maksimal kalau ada peraturan pemerintah seperti ini, (jadi) diperkuat, dan juga peraturan menteri peraturan menterinya. Tentu saja PP No. 56 tahun 2021 tentang pengelolaan royalti hak cipta lagu dan/atau musik ini menggembirakan untuk industri musik," kata Dwiki dikutip Antara, Rabu, 7 April.
Presiden Joko Widodo menandatangani PP tersebut pada 30 Maret 2021. Dalam PP Nomor 56 Tahun 2021 Pasal 3 tertulis, "Setiap Orang dapat melakukan Penggunaan Secara Komersial lagu dan/atau musik dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial dengan membayar Royalti kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait melalui LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional)."
Royalti yang dimaksud adalah imbalan atas pemanfaatan hak ekonomi suatu ciptaan atau produk hak terkait yang diterima pencipta atau pemilik hak terkait.
Sementara Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) adalah lembaga bantu pemerintah nonAPBN yang dibentuk menteri berdasarkan undang-undang mengenai Hak Cipta. LMKN berwenang menarik, menghimpun dan mendistribusikan royalti serta mengelola kepentingan hak ekonomi pencipta dan pemilik hak terkait di bidang lagu dan/atau musik.
Pengguna lagu dan musik secara komersial yang dimaksud di pasal tersebut meliputi seminar dan konferensi komersial, restoran, kafe, pub, bar, distro, klub malam, diskotek, konser musik, pesawat, bus, kereta api, kapal laut, pameran dan bazar, bioskop, nada tunggu telepon, bank dan kantor, pertokoan, pusat rekreasi, lembaga penyiaran televisi, lembaga penyiaran radio, hotel, kamar hotel dan fasilitas hotel serta usaha karaoke.
Melalui peraturan ini, para pemakai lagu dan musik seperti restoran, kafe, bioskop hingga pertokoan yang mendayagunakan lagu karya cipta secara komersial diwajibkan untuk membayar royalti. Kendati demikian, dia berharap peraturan pemerintah segera ditindaklanjuti oleh menteri-menteri terkait agar pengelolaan royalti bisa berjalan lebih lancar.
"Ini menggembirakan tapi harus segera ditindaklanjuti dengan menteri-menteri terkait, harus ada peraturan menteri umpamanya untuk mengatur tarif, untuk menentukan royalti kan harus ada tarif-tarif yang disepakati dengan asosiasi-asosiasi atau dari pengusaha-pengusaha tersebut (dalam peraturan pemerintah)," kata komponis yang juga anggota grup jazz ternama Krakatau.
Saat ini Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sudah terbentuk dan sudah banyak Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) yang berdiri. LMK terbagi menjadi dua, yakni LMK Hak Cipta dan LMK Hak Terkait.
BACA JUGA:
LMK Hak Cipta, seperti Wahana Musik Indonesia (WAMI) dan Karya Cipta Indonesia (KCI), menghimpun dan mendistribusikan royalti pencipta atau pemegang hak cipta dari karya yang didaftarkan. LMK Hak Terkait seperti Anugrah Royalti Dangdut Indonesia (ARDI), Persatuan Artis Penyanyi Pencipta Lagu dan Pemusik Republik Indonesia (PAPPRI) dan PRISINDO, menghimpun dan mendistribusikan royalti pelaku pertunjukan seperti musisi dan produser dari karya yang didaftarkan.
Para pencipta lagu, penyanyi, pemusik hingga pelaku pertunjukan harus menjadi anggota salah satu Lembaga Manajemen Kolektif untuk mendapatkan hak ekonomi, termasuk royalti. Insan musik yang punya peran ganda sebagai pencipta lagu dan penampil bisa tergabung dalam dua LMK, yakni LMK Hak Cipta dan LMK Hak Terkait.
LMKN akan menagih royalti dari para pemakai, mengacu dari Sistem Informasi Lagu dan Musik (SILM), sistem informasi dan data yang digunakan dalam pendistribusian royalti lagu dan musik.
"Sistem Informasi Lagu dan Musik itu misalkan diterjemahkan oleh (pengusaha bisnis) karaoke dengan memberikan logsheet dari pemakaian lagu-lagu, itu dilaporkan kepada LMKN."
Sama halnya seperti restoran, hotel hingga konser yang melaporkan daftar lagu yang diputar untuk publik dalam logsheet kepada LMKN, sehingga pihak-pihak yang berhak akan mendapatkan royalti.
LMKN kemudian mendistribusikannya kepada LMK yang lantas membagikannya kepada para anggota.
Pada 2019, LMK PAPPRI mendistribusikan royalti sejumlah Rp1,69 miliar kepada lebih dari 470 anggotanya, jumlah itu meningkat sekitar Rp500 juta dari tahun sebelumnya. Tahun 2020, LMK PAPPRI mendistribusikan royalti sebsar Rp2,5 miliar.
Dwiki belum mengetahui tepatnya berapa besaran royalti yang akan diberikan PAPPRI tahun ini, yang pasti jumlahnya diperkirakan menurun akibat pandemi.
"Para user menurun, seperti dari karaoke, bagaimana mereka bisa bayar royalti kan selama pandemi banyak yang tutup, jadi harus dipahami kondisi saat ini," kata Dwiki.
Penerapan peraturan pemerintah ini akan melindungi insan di industri musik sehingga pemasukannya bisa bertambah. Tapi kejujuran, integritas dan saling menghormati dibutuhkan dalam menghargai intellectual property, dalam hal ini para pemakai yang memanfaatkan lagu dan musik secara komersial dan bertanggungjawab melaporkannya kepada LMKN.
Dwiki menjelaskan, sistem serupa juga diterapkan di tempat lain. "Misalnya saya mau tampil di festival jazz di luar negeri, sebelum tampil si performer, misal saya yang tampil, menulis lagu yang akan dimainkan. Lagu itu diberi keterangan, ciptaan siapa, publisher siapa, produser siapa."
Jika ia memainkan lagu milik orang lain, panitia festival akan melaporkannya ke collecting society (seperti LMKN) sehingga pencipta lagu dan publisher asli dari lagu yang dibawakan olehnya akan mendapat royalti.
"Kalau itu adalah lagu saya sendiri, maka saya sendiri yang diuntungkan karena saya dari publisher di luar negeri akan dapat bagian dari performing rights, hak terkait," katanya.
Tapi, ada juga hal lain yang harus diperhatikan. Di pasal 11 PP No.56 Tahun 2021 disebutkan bila pemakai yang menggunakan lagu atau musik secara komersial adalah usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), pemakai itu akan diberikan keringanan tarif royalti yang nanti ditetapkan menteri.
"Jangan sampai pelaku usaha di bidang industri pariwisata baru menggeliat merasa tertekan dengan adanya ini, tapi ini adalah masalah hak kekayaan intelektual," ujar dia.
Ketua Harian Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu dan Pemusik Republik Indonesia (PAPPRI) Anang Hermansyah turut gembira dengan peraturan pemerintah ini.
"Kalau aku bilang ya, ini sebuah hadiah, dari kemarin bulan Maret Hari Musik Nasional, ya aku sih secara pribadi sangat senang presiden tanggap dan cepat melaksanakan ini, harapannya mudah-mudahan turunan yang lain bisa lahir," kata Anang.
Anang mengatakan, PP ini adalah pengejawantahan dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 mengenai Hak Cipta. Kehadiran Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 diharapkan bisa memperbaiki pendapatan royalti yang sudah berjalan hingga saat ini. Dengan adanya PP ini, LMKN bisa lebih tegas melaksanakan tugasnya.
Kini, semua pihak mulai dari penegak hukum, asosiasi hingga para pemakai lagu dan/atau musik harus semakin bekerjasama agar UU Nomor 28 Tahun 2014 bisa diimplementasikan secara baik.
"Harapannya, dengan peraturan pemerintah ini, peraturan menteri dan seterusnya, bisa lebih ditegakkan pelaksanaan penarikan royalti. Harapanku dengan PP ini lahir, di ranah perbaikan big data bisa terlaksana dengan baik," kata Anang.