Bagikan:

JAKARTA - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyebut Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset meningkatkan keefektifan pemberantasan tindak pidana ekonomi. Sehingga rancangan ini perlu untuk cepat dibahas dan disahkan.

"Kami anggap ini sangat urgent untuk kita, untuk Indonesia secara keseluruhan di dalam konteks kita mendorong lebih cepat lagi dan lebih efektif lagi (memberantas, red) tindak pidana perekonomian," kata Ketua PPATK Dian Ediana dalam diskusi virtual yang ditayangkan di YouTube, Rabu, 7 April.

Selain untuk efektivitas, rancangan perundangan ini juga dianggap memberikan efek jera bagi para pelaku tindak pidana ekonomi. Apalagi, tindak pidana ini sangat mengganggu pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

"Menurut berbagai analisis dari berbagai lembaga internasional untuk negara seperti kita, potensi kerugian negara yang ditimbulkan itu sekitar 20-40% dari GDP," kata dia.

Dengan demikian, Undang-Undang perampasan aset perlu disahkan dengan segera karena sekitar 17 tahun belakangan, penindakan terhadap tindak pidana pencucian uang ini masih terbilang sangat minim. Dian bahkan mencontohkan, dari 100 kasus tindak pidana ekonomi hanya 10 pelaku yang dijerat dengan pasal tindak pidana pencucian uang.

"Oleh karena itu, hasil yang didapat pun sangat marjinal. Recovery asset yang tadinya menjadi salah satu sasaran TPPU kita ini juga tidak menunjukkan hasil yang signifikan karena berbagai persoalan," tegasnya.

Lebih lanjut, dia mengatakan, PPATK sudah melakukan pertemuan dengan aparat penegak hukum lainnya seperti Kapolri, Jakasa Agung, hingga KPK. 

"Bisa dikatakan (kami, red) memohon dukungan dan komitmennya supaya setiap tindak pidana ekonomi harus disertai dengan tindak pidana pencucian uang. Ini untuk membantu asset recovery dengan baik," ungkap Dian.

"Sehingga, saya kira ini persoalan juga yang akhirnya semakin mendorong tekad kami supaya RUU mengenai perampasan aset bisa dilakukan," pungkasnya.