Bagikan:

JAKARTA - Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM Freddy Harris menanggapi perbincangan mengenai aturan pengelolaan royalti lagu dan musik yang baru diterbitkan Presiden Jokowi.

Kata Freddy, jika ada pengelola tempat atau kegiatan komersial yang tidak ingin membayar royalti pemutaran lagu, mereka tak usah memutar lagu apapun dalam menjalankan kegiatan atau usahanya.

"Saya rasa, kalau enggak mau bayar royalti, ya enggak usah putar lagu. Sepi-sepi aja. Mungkin bisa ada (pemutaran) pidato. Tapi hati-hati, pidato juga ada hak ciptanya," kata Freddy dalam diskusi virtual, Jumat, 9 April.

Aturan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. PP ini merupakan aturan penegasan dalam UU Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta.

Freddy menjelaskan, pihak yang wajib membayar royalti adalah perseorangan atau badan hukum memutar lagu yang bersifat komersial, yakni berupa seminar dan konferensi komersial; restoran, kafe, pub, bar, bistro, kelab malam, dan diskotek; konser musik; pesawat udara, bus, kereta api, dan kapal laut

Kemudian, pameran dan bazar; bioskop; nada tunggu telepon; bank dan kantor; pertokoan; pusat rekreasi; lembaga penyiaran televisi; lembaga penyiaran radio; hotel, kamar hotel, dan fasilitas hotel; dan usaha karaoke.

"Banyak musisi yang mengeluh lagunya dibajak, di-monetize, dan sebagainya. Makanya kita melakukan percepatan lewat PP. Catatannya, ini mengatur penggunaan secara komersial. kalau tidak komersial, ya tidak dikenakan royalti," jelasnya.

Lebih lanjut, poyalti yang ditarik dari pengguna komersial ini akan dibayarkan kepada pencipta atau pemegang hak cipta lagu dan/atau musik melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).

"Intinya, PP ini mempertegas pengelolaan royalti hak cipta lagu dan musik tentang bentuk penggunaan layanan publik bersifat komersial dalam bentuk analog dan digital," pungkasnya.