Tentang Kejayaan Mustafa Kemal Ataturk dan Pengaruhnya Terhadap Indonesia
Mustafa Kemal Ataturk (Foto: Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Mustafa Kemal Ataturk, sebagaimana arti nama belakangnya, "Bapak Bangsa Turki" menjadi salah satu sosok yang paling dibicarakan di dunia pada zamannya. Pemikiran dan gerakannya memerdekakan Bangsa Turki dari penjajahan Barat menginspirasi banyak bangsa di dunia. Tak terkecuali para founding father Indonesia. 

Selain sebagai Bapak Pendiri Bangsa Turki, Ataturk juga dikenal dengan hal lain. Bagi sebagian orang, dia dianggap menjadi sebab runtuhnya Kesultanan Ottoman. Bahkan ia juga dianggap sebagai diktator kejam yang terlalu memaksakan budaya barat di Turki. Lalu seperti apa sebenarnya sosok Mustafa Kemal Ataturk?

Sebelum menjawabnya, kita perlu tahu kisah bagaimana runtuhnya Kesultanan Ottoman. Turki Usmani mulai melemah setelah mengalami rentetan kekalahan perang dengan bangsa Eropa pada akhir abad ke-18 sampai awal abad ke-19.

Misal ketika perang melawan Russia pada 1877, Yunani (1897), Italia (1911), dan dua perang Balkan (1912 dan 1913). Ditambah lagi dengan sejumlah pemberontakan dari dalam yang menyebabkan moral, kekuatan dan kemampuan pasukan Turki Usmani melemah. Otoritasnya tergerus.

Tapi Kesultanan Ottoman tak tinggal diam. Sekitar akhir abad ke-18, reformasi digelar khususnya dalam modernisasi militer. Tak jarang Sultan Ottoman mengundang penasihat militer asing untuk melatih para perwiranya.

Ironinya, hal tersebut malah semakin menyebarluaskan filsafat barat khususnya di tubuh militer Ottoman. Sebagian dari mereka kemudian membentuk organisasi bawah tanah bernama Komite Untuk Persatuan & Progres, atau yang lebih dikenal sebagai Turki Muda.

Dari organisasi inilah nasionalisme Turki mulai subur. Pada 1908 kelompok Turki Muda melakukan revolusi dan mengubah Kekaisaran Ottoman menjadi monarki konstitusional.

Namun, kemajuan yang diimpikan Turki Muda masih jauh panggang dari api. Mereka terus berupaya mengembalikan kejayaan Turki. Sampai pada 1914, seperti dikutip Hipotesa salah satu Jenderal dari Turki Muda, Enver Pasha, tanpa sepengetahuan sebagian besar kabinet, melibatkan Kesultanan Ottoman di Perang Dunia I sebagai sekutu Jerman.

Enver merasa blok Tengah akan memenangkan PD I. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Militer Ottoman remuk. Kekuatannya menyusut drastis dari 800.000 pasukan menjadi tinggal sekitar 100.000 pasukan pasca PD I. Kesultanan pun terpuruk. Mereka mau tak mau menerima imperialisme Barat.

Di tengah keterpurukan itu, ada satu perwira yang tak mau tunduk pada imperialisme Inggris. Dia tak lain adalah  Mustafa Kemal.

Mustafa Kemal Ataturk (Foto: Wikimedia Commons)

Menantang Sekutu

Sebelumnya, Mustafa Kemal (Ataturk) sudah punya reputasi sebagai perwira andal dan berpengalaman dalam perang melawan Italia, Gallipoli, Palestina, dan pertempuran lain. Baginya kekalahan Utsmani adalah bukti bahwa Kesultanan itu tidak akan selamat dalam waktu dekat. Untuk itu perubahan radikal harus segera datang.

Ataturk merasa tak ada cara lain selain bertempur kembali dengan Sekutu demi kemerdekaan Bangsa Turki. Ataturk tak seperti Enver Pasha yang menginginkan kembalinya kejayaan Kesultanan Ottoman, melainkan hanya kemerdekaan bangsa Turki. Sebab, menurutnya, ambisi teritorial yang tak dapat dikontrol justru dapat menghancurkan kerajaan bahkan masa depan Bangsa Turki.

Sejak saat itulah Ataturk mulai bergerak. Ia mengkonsolidasikan Bangsa Turki dan membangun kekuatannya kembali.

Sampai pada 23 April 1920, Ataturk membentuk Grand National Assembly di Ankara. Seiring berjalannya waktu, pusat politik Turki seakan terbagi dua yakni di Ankara dan Istanbul yang berada di bawah Kesultanan Ottoman.

Mulanya tak ada pertentangan di antara kedua poros politik itu. Tapi semuanya pecah ketika Kesultanan Ottoman menandatangani Perjanjian Serves yang intinya "memberikan" sebagian besar wilayah Ottoman kepada Barat.

Poros Ankara pun tak menerima perjanjian ini. Mereka menyebut perjanjian tersebut dengan perjanjian pengkhinat. Dengan kombinasi diplomasi dan militer Mustafa Kemal Ataturk berhasil mengorganisasikan kekuatan tersisa untuk mengalahkan sisa-sisa pendudukan asing di Turki.

Kemenangan Ataturk semakin memaksa Sekutu untuk berdamai dengan Turki. Kemenangan ini juga turut membawanya untuk menutup lembaran pemerintahan Kesultanan Ottoman pada November 1922. Dan 29 Oktober 1923, akhirnya Republik Turki dideklarasikan Mustafa Kemal Attaturk.

Pengaruhnya di Nusantara

Gerakan kemerdekaan Turki menginspirasi banyak pergerakan kemerdekaan bangsa lain. Tak terkecuali Indonesia. Kemal menjadi kiblat politik para pendiri bangsa Indonesia.

Pada masa-masa menjelang kejatuhan Kesultanan Turki Utsmani, Gerakan Turki Muda atau Jong Turk menyita perhatian para pemimpin Indonesia. Salah satunya Soekarno.

Dalam tulisannya yang bertajuk "Apa Sebab Turki Memisah Agama dari Negara" yang pertama kali terbit di majalah Pandji Islam pada 1940, Soekarno mengutip perkataan Ziya Gokalp seorang ideolog gerakan Turki Muda. Buyinya: "kita datang dari Timur, kita berdjalan menuju ke Barat," tulis Soekarno. Bung Besar bahkan melihat kesuksesan Ataturk membendung Inggris sebagai sebuah pencapaian yang luar biasa.

Soekarno menyebut Ataturk mampu "mengharimaukan" Turki sehingga bisa bertahan dari gempuran Inggris. Lebih dari itu, Soekarno juga menganggap langkah yang diambil Ataturk dalam membangun negara dengan cara memisahkan antara urusan agama dan negara adalah contoh ideal.

Presiden Soekarno (Wikimedia Commons)

Konsep yang ditawarkan Ataturk, menurut Soekarno memberikan ruang kepada agama untuk tumbuh subur tanpa intervensi negara. Dengan mengutip pandangan Menteri Kehakiman era Ataturk, Soekarno menyebut agama justru mendapatkan posisi yang sakral karena terhindar dari intervensi.

Dalam tulisannya yang lain, Soekarno juga pernah menjelaskan bagaimana Islam seharusnya ditempatkan dalam ruang publik. Menurutnya, pemeluk islam harus mampu mengambil api Islam untuk menggelorakan semangat kemajuan. Api Islam menurut Soekarno adalah cara untuk mencapai modernitas seperti yang telah berhasil dicapai Turki.

Pemikiran dan cara berpolitik Ataturk hidup di Indonesia. Buah pikir dan gerakannya mengundang dialektika di Indonesia. Haji Agus Salim misalnya yang punya pandangan berbeda dengan Soekarno.

Menurut M. Sya'roni dan Muhammad Luthfi Zuhdi dalam Jurnal Middle East and Islamic Studies (2020) menjelaskan, Agus Salim menganggap sekulerisme ala Ataturk kebablasan. Menurutnya paham kemalisme mengarah kepada sekulersime yang terlalu jauh untuk membuat senang Eropa. Padahal kebudayaan masyarakat Turki sangat identik dengan nilai Islam.

Meski begitu, Agus Salim juga tak setuju dengan sikap sebagian pemimpin politik di Indonesia terutama kalangan ulama yang masih melihat Khilafah sebagai satu-satunya jalan keluar untuk masalah dunia. Ia justru mengingatkan supaya melupakan Khalifah Turki Utsmani karena dianggap telah menyimpang dari konsep kepemimpinan Islam seutuhnya karena telah mengarah menjadi pemimpin yang otoriter.

Agus Salim justru menyarankan para pemimpin Indonesia fokus pada upaya perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dan menjadikan Al-Quran sebagai rujukan dalam membangun negara-bangsa.

*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian Arifin.

MEMORI Lainnya