Menteri Koordinator (Menko) bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan tengah menyiapkan armada yang dimiliki Pelni untuk membantu menekan penyebaran COVID-19. Upaya itu dilakukan karena angka penuluran virus dari Wuhan yang sedang tinggi-tingginya. Dalam rencana itu, Airlangga telah bekerja sama dengan Kementerian Perhubungan, Badan Nasional Penggulangan Bencana (BNPB), dan Kementerian Kesehatan.
“Pemerintah menyediakan kapal Isoter, yaitu kapal isolasi terpusat yang menggunakan armada Pelni,” ujarnya secara virtual, Senin, 23 Agustus.
Enam armada kapal laut yang disiapkan Pelni akan disesuaikan dengan spesifikasi kebutuhan pasien COVID-19. Keenam kapal nantinya dapat total menampung ribuan pasien COVID-19.
Adapun rinciannya Pelni di Medan akan mengoperasikan KM Bukit Raya dengan kapasitas 463 tempat tidur, Lampung dengan KM Lawit 437 tempat tidur, Makassar KM Umsini 849 tempat tidur. Kemudian, di Bitung dengan armada berkapasitas 458 tempat tidur, Sorong dengan KM Sirimau 460 tempat tidur. Terakhir, di Jayapura dengan KM Tidar berkapasitas 929 tempat tidur.
“Jumlah tempat tidur yang tersedia adalah 3.596 tempat tidur dengan enam kapal yang tersebar di wilayah nusantara,” tegasnya.
Pucuk dicinta ulam tiba. Direktur Utama PT Pelni, Insan Purwarisya L. Tobing telah lebih dulu mengungkap kesiapan Pelni dalam membantu pemerintah. Pelni bahkan tengah mempersiapkan armada kapal laut untuk siap digunakan sebagai tempat isolasi.
"Sebelum digunakan, seluruh kapal akan disterilisasi dan dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas pendukung untuk pelaksanaan isolasi terapung oleh pemerintah daerah dengan instansi. Ini harus dilakukan demi memenuhi standar sebagai lokasi isolasi mandiri sesuai yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan sebagaimana yang telah dilakukan di KM Umsini di Makassar," terang Insan dikutip laman resmi Pelni.
Keenam kapal itu rencananya diisi oleh fasilitas lengkap. Seluruh kapal akan diberikan kamera pengawas, internet, poliklinik, area jogging, serta top deck yang dapat digunakan untuk berjemur dan olahraga. Alhasil, tiap pasien dapat melakukan pemulihan yang cepat bersama Pelni. Insan juga menyadari bahwa sudah menjadi tugas dari Pelni untuk mendahulukan kepentingan nasional. Termasuk dalam menghadapi pandemi COVID-19.
"Melalui kerja sama ini, kami yakin masing-masing pihak akan memaksimalkan potensi yang dimiliki dan saling bahu-membahu untuk menangani kasus Covid-19 di Indonesia sehingga dapat segera membaik,” kata Insan.
Gaung Trikora Soekarno
Upaya melibatkan Pelni untuk membantu pemerintah bukan barang baru. Sejak dulu, kontribusi positif Pelni telah banyak digoreskan dalam sejarah bangsa. Termasuk, kala Pelni terlibat dalam operasi Tri Komando Rakyat (Trikora). Operasi ini bermula karena Presiden RI pertama, Soekarno menjadikan persoalan merebut Irian Barat (Papua) dari Belanda sebagai urusan krusial. Bung Karno berucap tanpa Irian Barat Nusantara tak akan sepenuhnya menjadi Indonesia.
“Dibandingkan dengan wilayah kepulauan kami, Irian Barat hanya selebar daun kelor, tetapi Irian Barat adalah sebagian dari tubuh kami. Apakah seseorang akan membiarkan salah satu anggota tubuhnya diamputasi tanpa melakukan perlawanan?” ungkap Bung Karno ditulis Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965).
Masalah Irian Barat perlahan-lahan jadi masalah personal. Bung Karno ‘ngotot’ melakukan ragam perundingan untuk merebut Irian Barat. Tetapi, karena Indonesia terlalu menggantungkan diri lewat jalur diplomasi dan bersilat lidah, Belanda bertindak curang. Buahnya, Indonesia sering kali dilecehkan di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Usulan Irian Barat jadi bagian Indonesia ditolak.
Bung Karno marah dan mulai kehilangan kesabaran. Jalur diplomasi tak mempan, jalur perang dipilih Bung Karno. Narasi Tri Komando Rakyat (Trikora) jadi upaya pamungkas Bung Besar di yogyakarta pada 19 Desember 1961. Orang nomor satu Indonesia itu mengamanatkan upaya menggagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda, Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat, dan mempertahankan keutuhan Tanah Air.
Semangat Trikora kemudian menggelegar kemana-mana. Termasuk di depan rakyat Celebes pada tahun 1962. Bung Karno berjanji sebentar lagi akan mengibarkan Sang Merah Putih di tanah Papua.
"Insyaallah tak lama lagi dan dalam tahun ini juga Sang Merah Putih akan berkibar di Irian Barat. Kita tidak akan peduli apakah dengan penyerbuan ke Irian Barat itu dunia digemparkan atau tidak. We don't care, we don't care, karena mengembalikan Irian Barat ke dalam wilayah kekuasaan RI merupakan tekad bangsa Indonesia yang tegas dan suatu pertumpahan darah tidak tergantung pada bangsa Indonesia,” ucap pidato Bung Karno dikutip Rosihan Anwar dalam buku Sukarno, Tentara, PKI: Segitiga Kekuasaan Sebelum Prahara Politik, 1961-1965 (2006).
Peran sentral Pelni dalam Trikora
Pada operasi Trikora itulah armada kapal Pelni dikerahkan oleh Deputi II Panglima Angkatan Laut (1959-1963) yang setelahnya menjadi Menteri Perhubungan Laut merangkap Menteri Koordinator (Menko) Maritim (1964-1960), Ali Sadikin. Pria yang berjuluk Kennedy dari Timur ini menyebut keterlibatan armada Pelni adalah bagian dari fungsi Pelni sebagai alat revolusi. Suatu alat yang digunakan untuk kepentingan pemerintah dan keadilan sosial.
“Saudara-saudara sekalian, kita semua mengamatkan diri kita sebagai Alat Revolusi baik sebagai perorangan maupun sebagai organisasi negara. Keadaan objektif mengharuskan, bahkan Revolusi menuntut pada diri kita untuk menjadi sungguh-sungguh alatnya – ialah alat revolusi. Kita sebagai alat revolusi sesuai dengan hukum revolusi harus mengetahui siapa lawan dan siapa kawan, harus ditarik garis pemisah yang terang dan harus diambil sikap yang tepat terhadap kawan dan terhadap lawan,” ungkap Ali Sadikin yang kemudian dikenal luas sebagai Gubernur DKI Jakarta (1966-1977).
Ali yang merupakan jebolan Angkatan Laut paham benar apa yang harus dilakukan ketika sebuah negara sedang dilanda keadaan perang. Maka segenap rakyat, termasuk Pelni segara andil bagian untuk menjaga kedaulatan Indonesia. Sekaligus merebut Irian Barat dari tangan belanda.
Beberapa di antaranya ada nama KM Abulombo, KM Ketapang, KM Sapudi, KM Tolando, KM Tampomas, KM Gunung Jati, dan KM Bengawan. Masing-masing armada Pelni memiliki tugas sebagai kapal penyuplai makanan dan perlengkapan perang. Lebih lagi, KM Tampomas milik Pelni dijadikan kapal rumah sakit apung. Pun KM Gunung Jati mendapatkan peran untuk mengangkut dua batalyon pasukan Baret Merah yang dikomandani oleh Mayor Dompas menuju Irian Barat.
“Saya pelaut, jadi tahu bagaimana lemahnya kekuatan maritim kita. Saya mengalami waktu perebutan Irian Barat. Semua kapal niaga dari Pelni, Djakarta Lloyd, dan swasta saya kerahkan untuk mengangkut 30 ribu pasukan. Itukan mengganggu kepentingan rakyat. Nah, inilah kepentingan saya tentang bahari, atas nama kalian, ya kan?” tutur Ali Sadikin sebagaimana ditulis Ramadhan K.H. dalam buku Pers Bertanya, Bang Ali Menjawab (1995).
Trikora yang digaungkan Soekarno pun membuahkan hasil. Irian Barat berhasil bersatu dengan Indonesia pada Mei 1963. Dalam perundingan-perundingan antara Indonesia dan Belanda yang ditengahi Amerika Serikat, Belanda setuju menganggarkan 30 juta dolar pertahun untuk pembangunan Irian Barat melalui PBB.
Sementara, Indonesia berkewajiban menyelenggarakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) bagi rakyat Irian Barat pada Desember 1969. Pepera kemudian berlangsung dari 14 Juli 1969 di Merauke dan berakhir pada 4 Agustus 1969 di Jayapura. Hasilnya, Irian Barat secara paripurna menjadi bagian dari Indonesia.
Dengan begitu, andil Pelni dalam Trikora melengkapi narasi wilayah Indonesia yang melintang dari Sabang hingga Merauke. Pun wujud kepedulian Pelni kepada negara terus berlanjut. Apalagi, Pelni sering kali menggerakkan armada kapal lautnya untuk bergerak membantu ketika Indonesia terjadi bencana. Termasuk, pada bencana Tsunami Aceh pada 2004. Asalkan Indonesia terjaga, kerugian adalah masalah nomor kesekian bagi Pelni.
“Dengan berubahnya perusahaan tersebut menjadi perusahaan negara dalam Januari 1961, keuntungan perusahaan bukan hal yang utama. Kebanggaan nasional dan keadilan sosial merupakan hal yang lebih dipentingkan dalam pengakuan pemerintah sosialis pada saat itu. Keberadaan Pelni pada saat itu tidak diharapkan untuk memperoleh keuntungan dari lin yang dibukan kepada beberapa negara, seperti India dan Arab, dan tetapi mengangkut komoditi penting dengan tarif di bawah tingkat komersial,” tutup H.W. Dick dalam buku Industri Pelayaran Indonesia: Kompetisi dan Regulasi (1989).
*Baca Informasi lain soal SEJARAH NUSANTARA atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.