Hikayat Ojek: Berkembang di Desa, Kesohor di Ibu Kota
Ilustrasi foto ojek online (Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Dewasa ini, kemacetan lalu lintas telah menjadi sajian khas dari Kota Jakarta. Di tengah kondisi itu, salah satu yang populer digunakan belakangan ini adalah ojek, baik konvensional maupun online.

Khusus yang kedua, kemudahan yang dihadirkan penyedia jasa ojek online terbilang revolusioner. Hanya bermodal ponsel pintar, kemudian memesan lewat aplikasi, ojek pun datang menjemput, siap membawa penumpang menerobos kemacetan Jakarta.

Jika dilirik ke belakang, fenomena jasa ojek untuk menerobos jalanan Ibu Kota telah melanggeng berzaman-zaman. Ojek telah kesohor semenjak dulu kala, tepatnya dimulai pada 1960-an.

Sebagaimana diungkap Kasijanto Sastrodinomo dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Hikayat Ojek Engkong Pe’i (2018), istilah ojek berasal dari bahasa Betawi, atau setidaknya dipopulerkan oleh orang Betawi, sebelum menyebar ke pelosok negeri.

“Kata ojek pelesetan dari ngobjek, bentukan dari objek atau obyek, yang berarti ‘cari duit.’ Alur pikir serupa itu terlihat pada kata turunannya, mengojekkan, yang berarti ‘menjadikan ojek.’ Cukup masuk akal, apalagi jika dikaitkan dengan contoh kalimatnya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI): lumayan juga penghasilannya dari mengojekkan sepeda motornya.

Dalam pandangan lain, istilah ojek juga diklaim berasal dari Jawa Barat. Hal itu dikarenakan kata ‘ojeg’ merupakan singkatan dari dua kata yang berasal dari bahasa Sunda, ‘oto’ berarti mobil, sedangkan “jegang” diartikan mengangkang.

Jika diartikan menjadi “mobil yang dikendarai dengan cara mengangkang.” Istilah itu tidak benar-benar dimaksudkan untuk mobil, melainkan, untuk kendaraan lain, seperti motor atau pun sepeda.

Jikalau melirik kepada literasi yang ada, kata ojek pertama kali disematkan kepada mereka yang mengkaryakan sepeda kayuhnya --bukan motor— untuk menarik penumpang maupun barang. Itu pun hanya sebagai kerja sambilan, bukan sebagai pundi-pundi utama pendapatan sehari-hari.

Dikutip dari surat kabar Kompas (1979), pada tahun 1969 ojek sepeda telah berkembang pada pedesaan di Jawa Tengah. Eksistensi ojek didorong oleh kondisi jalanan desa yang rusak parah, sehingga mobil tak bisa lewat. Melihat hal itu, orang-orang di desa memiliki ide untuk menawarkan ojek kepada penduduk desa yang ingin menerobos jalanan rusak. “Saat itu sepeda yang digunakan tak lain sepeda-sepeda kuat-kekar zaman sebelum Perang Dunia II.”

Di Jakarta pun sama. Awalnya ojek sepeda muncul pada tahun 1970 di Pelabuhan Tanjung Priok. Kehadirannya, disinyalir karena kala itu terdapat larangan bemo, becak dan lainnya untuk masuk ke pelabuhan. Berdasarkan itu, orang-orang yang mempunyai sepeda lalu menawarkan jasanya.

Setelahnya, ojek pun mulai merajai jalanan-jalanan yang ada sehingga memiliki ragam pangkalan di banyak tempat. Dalam tulisan Zaim Ucrowi dan Yopie Hidayat di Majalah Tempo berjudul Karyudi dan Sepeda Kekasihnya (1989). Pada tulisan tersebut penulis mewartakan seorang warga Jakarta bernama Karyudi yang berprofesi sebagai tukang ojek. Saat itu keberadaan ojek sepeda tengah bersaing dengan ojek motor.

“Karyudi kawula alit di Jakarta, modal hidupnya sepeda. Ia tukang ojek. Inilah mungkin, satu-satunya kota tempat ojek sepeda masih beroperasi. Di tempat lain, di daerah pelosok sekalipun, dunia per-ojekan, sebagaimana diketahui, sudah dikuasai motor, ojek bukan barang lama. Sudah barang tentu tidak setua usia becak,” tertulis.

Tukang ojek makin populer

Seiring dengan makin banyaknya tukang ojek menggunakan motor pada tahun 1970-an, profesi sebagai tukang ojek mulai tampak menjanjikan dan diperhitungkan sebagai sarana mencari pundi-pundi pendapatan tetap. Buktinya, usaha-usaha ojek motor mulai berkembang di ibu kota. Salah satunya usaha ojek motor hadir di Ancol, Jakarta Utara pada 1974.

Atas dasar transporasi baru, penggemarnya pun cukup banyak. Jadi, penumpang dapat sekalian plesiran naik motor keliling Ancol diantar oleh tukang ojek. Semakin kesohor lagi, karena profesi sebagai tukang ojek mulai nangkring di film layar lebar karya Nawi Ismail berjudul Sama Gilanya (1983).

Di dalam film tersebut, diceritakan seorang gadis nyentrik bernama Euis yang diperankan Euis Darliah. Euis telah ditunangkan dengan pemuda juragan tanah oleh orang tuanya. Sayangnya, Euis sudah lebih dulu tertarik dengan seorang tukang ojek yang juga nyentrik bernama Beno yang diperankan oleh legenda seni peran Betawi, Benyamin Sueb.

Dalam salah satu adegannya, Euis yang ingin ikutan audisi menjadi penyanyi yang sedang buru-buru mencari tumpangan tukang ojek. Singkat cerita, berjumpalah dirinya dengan si Beno. Disitu Euis bertanya: “mau narik kagak?”

Beno pun menjawab “mau kemana? Kondangan?”

Euis lantas menjawab “Kagak, mau ikutan nyanyi, biar masuk tv.”

Beno yang mendengar kemudian berseloroh “Masuk tv, muat loe? Kayak kecoa. Ayo naik. Penglaris, laris manis!”

Lalu, Beno pun menawarkan helm untuk digunakan Euis. “Pakai ini, buat menjaga keamanan kepala, kalau jatuh gak ampe renget loe. Peraturan pemerintah ini.

Setelahnya, baru muncul bagian paling ikonik dari film. Saat mau menyalahkan motor, Knalpot motor Beno kemudian terbang dan mendarat ke arah penjual bakso. Tak heran, kejadian itu sering kali mengundang tawa.

Berkat itulah, ingatan akan film dan akting jenaka legenda Seni peran Betawi asal Kemayoran masih melekat diingatan orang banyak. uniknya, film tersbeut sekaligus menjadi bukti bahwa ojek tak cuma populer semenjak kehadiran ragam aplikasi ojek online. Melainkan, sudah kesohor sedari dulu.