Sejarah Perjuangan di Balik THR Wajib Dibayar Satu Bulan Gaji
Foto via commons.wikimedia

Bagikan:

JAKARTA - Tunjangan Hari Raya (THR) para pekerja di tengah pandemi COVID-19 ramai dibicarakan. Para pekerja menuntut perusahaan tetap membayar 'bonus' yang besarannya bisa satu bulan gaji. Namun tidak semua perusahaan mampu memenuhi itu akibat dampak pagebluk ini.

Akibat hawar, memang banyak pekerja yang terancam THR-nya dipotong. Malah hingga tidak dibayarkan sama sekali. Jumat (22/5) kemarin misalnya, serikat pekerja perusahaan waralaba Dunkin Donuts melakukan aksi unjuk rasa di kantor pusat perusahaan gara-gara THR tak kunjung dibayar dengan keputusan sepihak. Mereka terpaksa melakukan aksi di tengah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ini. 

"Aksi ini terpaksa kami lakukan karena manajemen Dunkin' Donuts secara sepihak tidak membayarkan THR dan upah secara tepat waktu. Sementara para pekerja dan keluarganya sangat membutuhkan THR tersebut untuk menyambung hidup di masa PSBB akibat pandemi COVID-19," kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK) Indonesia Sabda Pranawa Djati dalam pernyataan resminya yang dikutip CNBC Indonesia.

Pindah ke lain tempat. Di Depok, Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota itu mencatat ada lima aduan karyawan yang belum menerima THR pada Kamis (21/5). Sampai tulisan ini dibuat, dari lima kasus, satu telah selesai, sementara empat kasus lainnya sedang dalam proses. 

Pengaduan tersebut selesai dengan cara kesepakatan antara karyawan dengan perusahaan. Rata-rata karyawan yang mengadu dari rumah sakit, percetakan, dan dealer motor atau mobil.

Setelah melakukan mediasi, Disnaker Depok bilang alasan utama perusahaan menunda pembayaran THR karyawan adalah kurangnya pemasukan selama pandemi. Namun Disnaker meminta agar perusahaan tetap membayar sesuai ketentuan.

Para pekerja di Ibu Kota (Angga Nugraha/VOI)

"THR itu kan hak semua karyawan yang telah bekerja satu tahun penuh atau beberapa bulan. Besarannya disesuaikan dengan masa kerja. Jadi perusahaan wajib membayar THR apapun alasannya," kata Kepala Disnaker Depok, Manto dikutip Tempo.

Andai perusahaan tak mampu membayar THR secara penuh pada waktu yang ditentukan, Manto mencontohkan THR dapat diberikan secara bertahap. Selain itu jika perusahaan tidak mampu membayar sama sekali untuk saat ini, maka dapat dilakukan penundaan sampai dengan jangka waktu yang telah disepakati kedua belah pihak. Dengan banyaknya opsi itu, sebenarnya tidak ada alasan perusahaan tidak bisa membayar THR.

Sejarah adanya THR

Tulisan ini bukan membahas polemik itu. Tapi sekadar mengingatkan tentang kisah perjuangan di balik perolehan THR yang besarannya bisa sampai satu bulan gaji. Ada sejarah panjang sebelum pekerja bisa mendapat THR seperti sekarang ini. Karena ketika pertama kali ada, besarannya masih belum bisa disebut layak.

Istilah THR pertama kali muncul pada era Pemerintahan Sukarno. Lebih tepatnya saat kabinet Soekiman Wirjosandjojo yang merupakan kader Partai Masyumi tahun 1951. Saat itu salah satu program kerjanya adalah meningkatkan kesejahteraan pamong pradja (kini dikenal sebagai Aparatur Sipil Negara). 

Menurut Sejarawan Asep Kambali dalam penjelasnnya lewat akun sosial media Instagramnya @asepkambali, pemberian THR pada era kabinet Soekiman tampak politis. Karena saat itu para pamong pradja merupakan para priayi atau ningrat yang sejak zaman kolonial berafiliasi dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) bentukan Sukarno. 
"Nampaknya, Soekiman memiliki rencana terselubung guna mengambil simpati para PNS agar mendukung kabinet yang dipimpinnya itu," tulis Asep kemarin (22/5). 

Mulanya THR diberikan sebesar Rp125 hingga Rp200 kepada para ASN. Sekarang uang sejumlah itu mungkin setara dengan Rp1,2 juta sampai Rp2,5 jutaan. 

Lalu setahun kemudian, tepatnya pada 13 Februari 1952, kaum buruh yang rata-rata hidup di bawah garis kemiskinan, melakukan protes keras. Para buruh yang melebur menjadi Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) memimpin demonstrasi besar-besaran, bahkan mogok kerja, menuntut agar diberikan tunjangan dari pemerintah.

Kata Asep perjuangan mereka mulai menemukan titik terang saat Ahem Erningpraja menjadi Menteri Perburuhan pada Kabinet Kerja II (18 Februari 1960 hingga 6 Maret 1962). Walaupun besarannya belum mencapai sebulan gaji kotor, tapi THR wajib dibayarkan sebagai hak buruh dengan masa kerja minimal 3 bulan. 
"Kebijakan tersebut tertuang dalam Permen (Peraturan Menteri) Perburuhan No.1 tahun 1961," katanya. 

Sampai sekarang, THR telah menjadi hak seluruh pekerja baik ASN/PNS maupun swasta. Meski organisasi buruh terbesar saat itu SOBSI telah dibubarkan karena dianggap bagian dari PKI. Saat ini hak penerimaan THR pekerja diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Lebih spesifik ketentuannya secara khusus diatur dalam Permenaker 6/2016. 

Ketentuannya, pekerja yang telah mempunyai masa kerja selama satu bulan berhak mendapatkan THR dengan perhitungan proporsional (masa kerja dikali satu bulan upah dibagi 12). Sementara pekerja yang telah bekerja selama 12 bulan atau lebih diberikan THR sebesar satu bulan gaji.