Bagikan:

JAKARTA - Pramoedya Ananta Toer pernah berpendapat tentang Jakarta. Baginya, Jakarta adalah sekumpulan dari desa-desa. Pendapat yang menarik, meski sejumlah literasi menyebut Jakarta sebagai kumpulan kampung-kampung besar yang menjadi satu. Kisah Kampung Luar Batang bisa jadi gambaran dari pandangan itu.

Sebelum masuk substansi, kita perlu memahami perbedaan desa dengan kampung. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), desa adalah kesatuan wilayah yang dihuni oleh keluarga dengan sistem pemerintahan sendiri: ada kepala desa. Sementara, kampung adalah kesatuan administrasi terkecil yang menempati wilayah tertentu: terletak di bawah kecamatan.

Di Kampung Luar Batang, kita dapat mendalami ini, bagaimana kata "kampung" lebih tepat disematkan untuk menggambarkan proses persatuan wilayah di Jakarta. Kampung Luar Batang tak pernah betul-betul memiliki kebudayaan sendiri. Di sana, penduduk diisi oleh pendatang. Namun, ada nilai positif yang amat bisa ditiru dari sana: kerukunan dalam kemajemukan.

Selain itu, Kampung Luar Batang juga memiliki nilai magis. Sebagai kampung tertua di Jakarta, Kampung Luar Batang terkenal keramat. Ragam literasi mencatat Kampung Luar Batang sudah berdiri sejak 1630-an, beberapa tahun setelah Jayakarta ditaklukkan Gubernur Jenderal VOC --yang menjabat dua kali dalam periode 1619-1623 dan 1627-1629-- Jan Pieterszoon Coen pada 1619.

Atas kemenangan itulah, nama Jakarta kemudian diubahnya menjadi Batavia. Berselang beberapa tahun setelah penaklukkan, permukiman Luar Batang berdiri. Sebagaimana diungkap Alwi Shahab dalam buku berjudul Saudagar Baghdad dari Betawi (2004). Dahulu, Luar Batang sempat menjadi tempat persinggahan sementara para awak –tukang perahu— pribumi yang ingin masuk Pelabuhan Sunda Kelapa.

“Ketika itu, penguasa VOC menerapkan peraturan yang tidak mengizinkan perahu-perahu pribumi masuk ke alur pelabuhan pada malam hari. Demikian juga tidak boleh keluar pelabuhan di waktu yang sama. Selain itu, seluruh perahu yang keluar masuk harus melalui pos pemeriksaan. Pos ini terletak di mulut alur pelabuhan dan pada tempat itulah diletakkan batang (kayu) yang melintangi sungai guna menghadapi perahu-perahu keluar masuk pelabuhan sebelum diproses,” ucap Alwi.

Karenanya, setiap perahu pribumi yang akan masuk harus diperiksa terlebih dahulu muatannya. Sedangkan perahu-perahu pribumi yang tak dapat masuk pelabuhan harus menunggu di luar wilayah Luar Batang bebeberapa hari, sampai ada izin masuk Pelabuhan Sunda Kelapa.

Biasanya, selama menunggu, sebagian awak perahu turun ke darat sembari membangun pondok-pondok untuk ditinggali sementara. Lama-kelamaan, seiring dengan kesohornya Batavia sebagai pusat perdagangan dunia, para awak perahu yang awalnya hanya tinggal sementara waktu kemudian mulai menetap. Permukiman ini pun mulai dikenal dengan nama Kampung Luar Batang.

Rachmat Ruchiat, dalam buku Asal-Usul Nama Tempat di Jakarta (2018) menjelaskan, nama Luar Batang sudah tertera dalam peta yang dibuat pada 1623. Namun, bukan tertulis dengan "Batang" dalam bahasa melayu, melainkan "Batang" dalam bahasa Belanda: "Boom".

“Jika perahu ingin melintasi penghalang tersebut, mereka wajib membayar bea masuk. Kawasan yang berada di luar penghalang inilah yang kemudian disebut dengan Luar Batang atau dalam bahasa Belanda disebut Buiten de Boom,” tulis Ruchiat.

Tak cuma dikenal sebagai tempat tinggal awak perahu, dalam perkembangannya, VOC turut meramaikan kampung tersebut dengan mendatangkan tenaga kerja dari berbagai pelosok nusantara guna membangun pelabuhan dan kasteel Batavia. Lantas, penduduk Kampung pun terdiri dari beragam etnis.

Kampung keramat

Dalam perjalanannya, Kampung Luar Batang sering kali dijuluki dengan "Kampung Keramat". Kata keramat sendiri disematkan karena adanya sebuah makam seorang ulama kesohor bernama Sayid Husein bin Abubakar bin Abdillah Alaydrus yang letak makamnya kini berada di dalam Masjid Luar Batang.

Adolf Heuken, dalam buku berjudul Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta (2007) angkat bicara terkait keramatnya makam seseorang yang diyakini sebagai keturunan langsung Nabi Muhammad SAW tersebut. Dalam bukunya yang kesohor itu, Adolf menyebut kata keramat mulai dikenal setelah Sang Habib wafat.

“Suatu lembaran yang dibagi-bagi di Masjid Luar Batang menceritakan: Beliau meninggal pada 27 Juni 1756 dalam usai 40 tahun. Jenazahnya diusung dalam kurung batang hanya ditandu ke kuburan Tanah Abang seperti seharusnya. Namun, sesampainya di kuburan, jenazah habib tiada lagi dan ternyata sudah kembali ke rumahnya,” ujar Adolf.

“Hal ini terjadi berulang kali. Maka, disepakati bahwa jenazah ini dikebumikan di rumahnya yang karenanya disebut Luar Batang,” tambah pastor berkebangsaan Jerman tersebut.

Tak heran, karena kisah, itu makamnya mulai menarik banyak peziarah. Peziarah pun tak hanya didominasi oleh mereka yang berasal dari pelosok Nusantara, melainkan juga datang dari luar negeri, seperti Tiongkok, Brunei Darussalam, hingga Belanda dan mereka yang datang dari Timur Tengah. Saking banyaknya, penjualan benda keramat di lokasi makam dapat mencapai 8 ribu gulden dalam setahun.

Seorang Serdadu Belanda, H.C.C Clockener membuktikan. Dalam buku berjudul Batavia Awal Abad 20 (2004), ia berjalan menjelajahi Masjid Luar Batang bersama seorang pemandu lokal bernama Abdullah. Sejak perjalanan itu, ia menjuluki Masjid Luar Batang sebagai tempat ibadah besar bagi umat Islam di Hindia-Belanda.

“Terletak di tempat bernama Luar Batang, sebuah bangunan terbuka. Dan saat itu tampak beberapa haji sedang beribadah. Kami agak ragu akan dapat masuk ke dalam meskipun Abdullah mengatakan semuanya bisa diatur. Kami diperbolehkan masuk ke tempat keramat itu. Tapi, pertama-tama harus melepas sepatu,” cerita Clockener.

Dirinya pun bercerita jikalau Masjid Luar Batang merupakan tempat yang paling dihormati oleh umat Islam. Lantas, Clockener pun merasa puas karena dapat melihat-lihat keadaan dalam dan luar masjid. Apalagi, saat dirinya datang, masjid sedang dalam keadaan terjaga dan sangat rapi. “Bangunan itu memiliki lebih dari satu atap dengan tiang-tiang penyangganya yang dari luar terlihat indah.”

Untungnya, keindahan tersebut masih terjaga hingga hari ini. Walau saat ini bangunan masjid sudah banyak berubah karena sederet renovasi pada tahun 1827, 2006, dan 2007, nyatanya makam keramat di Masjid Luar Batang tak henti-henti mendatangkan peziarah. Bahkan, semakin ramai jika mulai menyambut bulan penuh berkah, Ramadan.