JAKARTA - Tepat hari ini, 44 tahun lalu pada 28 November 1975, Timor Timur (Timtim) mendeklarasikan kemerdekaannya dari Portugal. Hanya saja, kemerdekaan itu berlangsung singkat dengan masuknya Negeri Bumi Loro Sae dalam dipelukan Indonesia.
Semua bermula pada tahun 1640 silam. Kelompok orang-orang Portugis datang dan membentuk perkampungan kecil di Timtim. Pendatang dari Portugis mulai bertambah, okupasi mereka perlahan meluas dari Barat Kupang dan ke daerah lain. Perpanjangan tangan pemerintahan Portugis pun dikukuhkan 60 tahun kemudian.
Meski begitu, para pelaku sejarah tak menemukan jejak peninggalan dari perkampungan Portugis di Dili, Manatuto, Laleila, Vemasse dan sejumlah daerah lainnya yang ada di pesisir utara. Alfred Russel Wallace ilmuwan geografi kondang dari Inggris dalam bukunya 'The Malay Archipelago' mengatakan bahwa pemerintah Portugis di Timor merupakan bentuk pendudukan yang paling semena-mena.
Hal itu ditunjukkan dengan tak adanya jejak peninggalan di pulau Timor, bahkan sepetak jalan pun tidak ada dari masa kependudukan Portugis. Bahkan Kota Dili disebut sebagai 'tempat paling miskin, bila dibandingkan dengan kota-kota termiskin lainnya di Hindia Belanda'
"Tak ada tanda-tanda orang bercocok-tanam atau perdaban di sekitarnya," tulis Wallace dalam bukunya yang diterbitkan pada 1896.
Memasuki abad ke-20, Antonio de Oliveira Salazar memimpin Portugal secara otoriter. Dengan slogan ‘republik kesatuan-korporatis’, Estado Novo alias Negara Baru Salazar, ia memastikan tidak ada kelompok atau partai politik manapun yang akan menggulingkannya.
Rezim Salazar memaksakan swasensor, propaganda, dan pemenjaraan politik untuk ‘menetralkan’ masyarakat. Selain itu dengan tegas ia menolak pengakuan Resolusi PBB 1960 tentang Dekolonisasi, termasuk Timtim di dalamnya.
Tonggak kekuasan pun berganti, Salazar digantikan oleh Marcello Caetano pada 1968. Caetano mengenalkan primavera, atau yang sering disebut musim semi pembebasan. Angin kebebasan mulai berhembus, diktatorisme pemerintahan Portugis pun tumbang setelah menerima prasyarat Resolusi PBB 1960 tentang Dekonolisasi, dan Timor secara resmi diakui sebagai wilayah non-otonomi di bawah pemerintahan Portugis.
Partai-partai politik di Timor Portugis diizinkan berdiri seiring datangnya Revolusi Bunga. Uniao Democratica Timorense (UDT) jadi partai politik pertama, menyusul Associacao para Integracao de Timor na Indonesia, yang menyuarakan integrasi dengan pemerintah Indonesia. Dilanjut dengan partai Frente Revolucionária do Timor-Leste Independente (Fretilin) pada September 1974.
Partai-partai tersebut mulai mempromosikan diri untuk memperjuangkan kemerdekaan Timor Timur. Fretilin mengagendakan reformasi agraria, meningkatkan anggaran pendidikan, dekolonisasi struktur administratif, dan mulai mendirikan industri kecil yang produk utamanya berpusar pada kopi, serta negosiasi kontrak minyak dengan Portugal.
Selain itu Fretilin juga menegaskan bahwa ia ‘satu-satunya wakil yang sah’ dari rakyat Timor, tak hanya bersandarkan setiap legitimasi pemungutan suara tapi ‘atas dasar nilai-nilai yang diklaim secara umum bagi “semua rakyat Timor”.
Merdeka kemudian "dicaplok"
Pertikaian kedua kubu (UDT dan Fretilin) terus memanas baik secara verbal maupun kontak fisik. Partai UDT yang didominasi golongan pemilik tanah berpandangan konservatif dan menolak pandangan Fretilin dengan reformasi agraria yang diusungnya.
Konflik kedua parpol itu terekam dalam tulisan Clinton Fernandes pada laman University of New South Wales Canberra. Kolonialisme Timor Leste telah dimanipulasi oleh Indonesia dengan melancarkan operasi rahasia, demikian tulisnya.
Fernandes menyebut, upaya Indonesia dengan melancarkan operasi rahasia bertujuan untuk menganeksasi Timtim. Salah satu contohnya dengan pendudukan Konsulat Indonesia di Dili yang membolehkan seorang wakil Apodeti, Tomas Goncalves, mengunjungi Jakarta pada September 1974 dan menjalin kontak dengan panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), Jenderal Maradean Panggabean.
Di sisi lain, UDT dan Fretilin pernah bersatu dalam mengusir musuh bersama yakni Portugis pada Januari 1975. Namun koalisi itu hanya bertahan selama empat bulan lamanya, tak lama setelah UDT mencabut koalisi unilateral yang disusul dengan pertemuan personelnya di Jakarta.
Salah satunya figur UDT bertemu dengan kepala intelijen Jenderal Ali Murtopo di Jakarta. Segera sesudah mereka kembali, UDT melancarkan kudeta terhadap Fretilin. Dalam apa yang disebut ‘gerakan bersenjata’ pada 11 Agustus, UDT merebut beberapa kantor penting Fretilin serta menahan ratusan pemimpin dan pendukung Fretilin.
Di bawah kondisi destabilisasi, propaganda, dan tekanan militer dari Indonesia, akhirnya Fretilin memproklamirkan kemerdekaan pada hari ini, 28 November 1975. Beberapa hari setelah itu, UDT dan tiga partai kecil lain mengumumkan 'Deklarasi Balibo' -- sebuah seruan yang minta pemerintah Indonesia menganeksasi Timor.
Sekalipun disebut Deklarasi Balibo, para saksimata yang menandatanganinya kelak bersaksi bahwa rancangan deklarasi itu disusun di Jakarta dan diteken di sebuah hotel di Bali di bawah kondisi paksaan seperti dicatat dalam laporan Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi Timor-Leste (CAVR) pada 2005.
Sembilan hari kemudian, Indonesia menyerbu Timor Timur pada 7 Desember 1975. Pertempuran antara Fretilin dengan sayap militernya terjadi di sisi pedalaman, Angkatan Bersenjata untuk Pembebasan Nasional Timor-Leste (Falintil). Serangan itu membuat Indonesia berhasil menduduki Timor selama 24 tahun.
Pemerintah Indonesia di bawah Presiden Soeharto menduduki Timtim bukan tanpa alasan. Sebenarnya Soeharto awalnya tidak mau menjadikan Timtim masuk kewilayah Indonesia. Kendati demikian setelah mendapat masukan dari kalangan intelijen Indonesia yang salah satunya Majen Ali Murtopo, Soeharto mungkin mulai berpikir ulang.
Salah satu yang menjadi pertimbangan yakni melihat Fretilin yang berideologi komunis diduga memunculkan kekhawatiran bagi Indonesia yang seperti kita tahu bahwa Soeharto merupakan anti-komunis. Dikhawatirkan kekuatan Fretilin semakin besar dan berakibat terbentuknya negara komunis di perbatasan Indonesia.
Sampai akhirnya, pasukan militer Indonesia dapat menyelesaikan permasalahan tersebut pada 7 Desember 1975. Kendati demikian, operasi militer tersebut justru memperkeruh konflik yang sedang terjadi. Berbagai upaya yang telah dilakukan untuk meredakan konflik, salah satunya dengan membawa masalah Timtim ke PBB setelah berunding dengan Portugal.
Pada 5 Mei 1999, akhirnya dicapai kesepakatan antara Indonesia dan Portugal untuk menggelar referendum di Timtim. Perjanjian itu kemudian dikenal sebagai New York Agreement. Selain itu PBB juga membentuk United Nations Mission in East Timor (UNAMET) untuk mengawal kesepakatan Indonesia dan Portugal dalam prosesnya menuju referendum Timtim.
Referendum itu dilaksanakan pada 30 Agustus 1999 dan dilaksanakan dengan dua pilihan yakni menerima otonomi khusus untuk Timtim dalam NKRI atau menolak itu.
Hasilnya 344.580 penduduk atau 78,5 persen dari total penduduk Timtim memilih untuk menolak otonomi khusus NKRI. Lalu pada Oktober 1999 secara resmi Timtim lepas dari NKRI.