JAKARTA - Kiprah Hafez Al Assad dalam percaturan politik Timur Tengah tak bisa dianggap remeh. Pemimpin Suriah itu jadi tokoh yang kerap bikin pusing Israel. Ia pendukung kemerdekaan Pelastina. Bahkan, ia mengecam seluruh jengkal tanah yang pernah diambil Israel dari wilayahnya.
Kiprah itu membuatnya dikenal sebagai Singa Damaskus. Masalah muncul. Kepemimpinan Hafez sebagai Presiden Suriah juga penuh noda darah. Ia dikenal sebagai diktator. Barang siapa yang berseberangannya dengannya, niscaya akan disingkirkan.
Cara terbaik melihat kepemimpinan seorang tokoh politik hendaknya dari dua sisi. Sebab, banyak di antaranya memiliki sisi yang berlawanan. Hafez Al Assad, misalnya. Satu sisi ia jadi pemimpin yang disegani di Timur Tengah. Sisi lain ia dianggap sebagai diktator yang terkutuk oleh rakyatnya sendiri.
Mulanya Hafez memang tertarik dalam dunia militer. Pria kelahiran Al Qardahah 6 Oktober 1930 itu memulai kariernya di angkatan udara. Ia tercatat sebagai pilot pesawat tempur binaan Uni Soviet. Ia pun tak hanya aktif di militer. Dunia politik coba digarapnya.
Kondisi itu membuat Karier militernya moncer. Ia mampu mengisi jabatan Kepala Staf Angkatan Udara (sekelas KASAU di Indonesia). Ia lalu menjadi Menteri Pertahanan sedari 1966. Karier itu membuat punya andil besar dalam mendukung rakyat Palestina untuk merdeka.
Suriah pun berpartisipasi dalam Perang Timur Tengah pada 1967. Hafez melihat sendiri bagaimana negara Arab pontang-panting mencoba mengalahkan Israel. Hasilnya, Suriah pun harus rela melepaskan wilayahnya Dataran Tinggi Golan.
Kekalahan itu bak masalah personal bagi Hafez. Belakangan Hafez dengan Partai Sosialis Ba’ath memperoleh dukungan penuh. Ia segera mengkudeta Presiden Suriah Nureddin Al Atassi dan berhasil pada 1970.
Hafez pun naik jabatan jadi Presiden Suriah. Rakyat pun mendukungnya. Ia melangsungkan pembangunan di sana sini – jalanan, sekolah, rumah sakit, dan perumahan murah. Israel pun terus dilawannya. Lewat perang dan juga perundingan. Hafez lalu mendapatkan julukan Singa Damaskus.
BACA JUGA:
“Hafez selalu menegaskan tidak akan ada perdamaian dengan Israel kecuali dataran tinggi itu dikembalikan. Sejak tahun 1967, upaya Assad tidak pernah berhenti. Alatnya berkisar dari permainan catur militer yang melibatkan pasukan Suriah dan Israel serta sekutu lokal mereka di Lebanon hingga serangan yang direncanakan dengan matang, dalam aliansi dengan Mesir, terhadap Israel pada tahun 1973.”
“Hafez melawan segala rintangan dan semua prediksi Barat. Suriah mendapatkan kembali wilayahnya melawan Pasukan Pertahanan Israel. Namun, pada akhirnya, pasukan Suriah berhasil dipukul mundur dan hanya memperoleh kembali sebagian kecil wilayah Golan, tempat Assad secara pribadi mengibarkan bendera negaranya,” ujar Richard Pearson dalam tulisannya di laman The Washington Post berjudul From Humble Roots to 'Lion of Damascus' (2000).
Wajah Lain Hafez Al Assad
Nama Hafez di dunia internasional harum. Ia bak seorang pejuang di Timur Tengah. Ia mampu menjembatani banyak kepentingan negara-negara di Timur Tengah. Bahkan, Israel sendiri yang jadi musuh bebuyutannya menaruh hormat tinggi kepada Hafez.
Masalah muncul. Citra Hafez di dunia internasional boleh mentereng. Namun, citranya di dalam negeri naik-turun. Sosoknya pernah dipuja-puji banyak orang. Namanya disebutkan di mana-mana. Satu-satunya yang bisa menggoyang citra baik Hafez adalah nafsu kuasa.
Hafiz represif dan antikritik. Hafez belakangan dikenal pula gemar dalam memukul mundur lawan politiknya. Barang siapa yang melawannya niscaya akan diasingkan, bila perlu dimatikan. Narasi itu dibuktikan dengan munculnya kaum pemberontak Sunni fundamentalis di Hama, Suriah pada 1982.
Ayah Bashar Al Assad itu tak pikir panjang. Ia langsung saja menggerakkan kekuatan militer untuk membasmi kelompok pemberontak. Total 10 ribu penduduk Hama tewas di tangan tentara Suriah. Hafez tak lantas berhenti.
Ia segera menyingkirkan segala jenderal militer yang berpotensi mengganggu kekuasaannya. Target utamanya adalah menyingkirkan adiknya sendiri, pimpinan Saraya al Difa (Brigade Pertahanan), Jenderal Rifaat Al Assad. Kemudian, Komandan Pasukan Khusus, Ali Haydar, dan Komandan Divisi III, Shafiq Fayyahd.
Nafsu jabatan lalu membuat Hafez bak dibutakan mata hatinya. Ia yang sekarat justru segera mengubah UU batas usia presiden. Upaya itu dilakukan supaya darah dagingnya bisa melanjutkan kekuasaannya pada tahun 2000. Hafez meninggal dunia 10 Juni 2000. Kemudian, anaknya Bashar Al Assad naik takhta.
“Presiden Hafez yang dikenal hidup bersahaja, telah mempersiapkan anaknya, Bashar Al Assad, 34 tahun, untuk menjadi penggantinya, persiapan yang tidak sia-sia. Terbukti parlemen secara aklamasi langsung mengubah undang-undang yang mensyaratkan presiden berumur 40 menjadi 34 tahun.”
“Pengumumannya dilakukan pada hari yang sama Hafez wafat. Kemudian, pihak pemimpin parlemen Suriah mengumumkan akan mengangkat Bashar, dokter mata lulusan Inggris itu menjadi Presiden Suriah pada 25 Juni 2000 Nanti,” ujar Bina Bektiati dan Zuhaid el-Qudsy dalam tulisannya di majalah Tempo berjudul Habis Assad Terbitlah Bashar (2000).