Bagikan:

JAKARTA – Memori hari ini, enam tahun yang lalu, 22 Oktober 2018, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan bahwa umat Islam jangan terprovokasi pembakaran bendera tauhid oleh Banser Nahdlatul Ulama (NU) di Garut, Jawa Barat. MUI menyebut pembakaran itu hanya kesalapahaman saja.

Sebelumnya, kehadiran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) memicu polemik. Mereka ingin mencoba memaksa Indonesia menganut sistem khilafah. Kondisi itu tak disukai banyak pihak. Banser NU Garut membakar bendera yang diduga milik HTI.

Boleh jadi ormas HTI sudah dibubarkan dan dilarang pada 2017. Namun, sebagian orang percaya jika pengaruh HTI tak lantas hilang. Simpatisan dan perjuangan masih dianggap ada. Mereka terus memaksa supaya sistem demokrasi yang dalam pandangan mereka banyak mudarat diubah.

Simpatisan HTI menganggap sistem khalifah sudah paling benar. Keinginan HTI jelas mendapatkan tentangan dari mana-mana. Kondisi itu karena HTI tak saja merusak kerukunan umat beragama. HTI dalam hal itu akan merusak pula keutuhan Indonesia yang menganggap keberagaman adalah kekuatan Indonesia yang sebenarnya.

Tentangan itu dilakukan dengan banyak cara. Ada yang secara terang-terangan menggunakan medium media massa untuk mengkritik. Ada pula yang menggunakan tindakan langsung. Ambil contoh yang dilakukan oleh Banser NU di Garut.

Potret bentuk panji Al Liwa dan Ar-Rayah yang sering dijadikan simbol perjuangan oleh HTI. (ANTARA)

Mereka yang geram dengan HTI justru melakukan pembakaran bendera mirip HTI. Aksi itu tersebar di seantero Indonesia. Alih-alih mendapatkan sambutan baik. Aksi pembakaran bendera justru melukai hati umat Islam di seluruh Nusantara.

Bendera yang dibakar bukan bendera HTI. Banser justru membakar panji Ar-Rayah (Hitam) dengan isi kalimat tauhid yang digunakan Nabi Muhammad SAW. Biasanya HTI memang sering membawa panji itu sebagai simbol perjuangan bersamaan dengan dibawanya panji Al-Liwa (putih).

Namun, itu bukan bendera HTI. Pemimpin Banser pun segera memberikan klarifikasinya.

"Saya memahami apa yang dilakukan teman-teman itu adalah upaya menjaga kalimat tauhid. Jika bukan bendera yang ada tulisan tauhidnya, bisa jadi oleh mereka (anggota Banser Garut) tidak dibakar, tetapi langsung buang saja ke comberan."

"Membakar bendera yang ada tulisan kalimat tauhid tersebut, hemat saya, teman-teman ingin memperlakukan sebagaimana jika mereka menemukan potongan sobekan mushaf Al Ruran. Mereka akan bakar sobekan itu, demi untuk menghormati dan menjaga agar tidak terinjak-injak atau terbuang di tempat yang tidak semestinya," ujar Ketua GP Ansor, Yaqut Cholil Qoumas dikutip laman CNN Indonesia, 22 Oktober 2018.

Masalah pembakaran bendera tauhid pun merebak ke mana-mana. Potensi terjadi perpecahan karena pembakaran tinggi. Kondisi itu membuat Majelis Ulama Indonesia (MUI) turun tangan meredakan tensi panas.

MUI pun mengimbau kepada umat Islam di Indonesia tak terprovokasi dengan pembakaran bendera pada 22 Oktober 2018. Pembakaran bendera dianggap MUI hanya kesalahpahaman belaka. Persoalan pembakaran semata-samata dilakukan supaya menjaga maruah dari bendera supaya tak diinjak-injak atau tidak terbuang pada tempat yang semestinya.

“Tidak perlu dibesar-besarkan dan dijadikan polemik karena hal tersebut dapat menimbulkan kesalapahaman dan memicu gesekan,” ujar Wakil Ketua Umum MUI, Zainut Tauhid Saadi sebagaimana dikutip laman ANTARA, 22 Oktober 2018.