JAKARTA - Kerja keras pemerintah Singapura membangun negara kerap mengundang kekaguman. Empunya kuasa berhasil mengerakkan sektor ekonominya di bidang industri dan jasa. Singapura terus berkembang pesat. pembangunan gencar dilakukan di mana-mana.
Nyatanya, kondisi itu membawa masalah pada era 1970-an. Singapura tak memiliki Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah mumpuni karena keterbatasan lahan. Pemerintah pun ambil sikap. Mereka membangun TPA di pulau dan berhasil. TPA Semakau, namanya.
Perkembangan Singapura cukup pesat di era 1970-an. Negara yang memiliki luas 734,3 km² mulai menemukan ritme dalam pembangunan ekonomi. Mereka mulai menatap pertumbuhan ekonomi dari sektor industri dan jasa. Pariwisata, perbankan, kesehatan, hingga elektronik.
Kondisi itu membuat laju pembangunan ekonomi terus diberlangsung di Singapura. Pertumbuhan penduduk pun terus mengikuti. Masalah muncul. Kelangkaan lahan mulai terjadi di Singapura. Kondisi itu membawa masalah baru: pengelolaan sampah.
Urusan pengelolaan sampah perlu diseriusi. Jumlah sampah/limbah padat meningkat tiap tahunnya. Sampah-sampah itu ditempatkan di TPA Lorong Halus. Opsi itu untuk sementara waktu optimal. Pemerintah Singapura pun mulai mengadopsi teknologi mutakhir dalam pengelolaan sampah incinerator.
Suatu teknologi pengolahan sampah yang melibatkan pembakaran bahan organik. Teknologi itu mampu mereduksi volume sampah. Singapura pun membangun sampai empat pusat pembakaran sampah. Hasil limbah pembakaran baru dibuang ke TPA Lorong Halus.
Masalah muncul. Pembuangan limbah ke TPA Lorong Halus tak dapat dilakukan terus menerus. Volume sampah yang terus bertambah dan ketiadaan lahan untuk menampung sementara sampah membuat pemerintah Singapura berpikir keras.
Mereka mulai melontarkan ide tak lazim. Pemerintah Singapura ingin supaya TPA dibangun di luar Singapura, atau di lautan lepas. Opsi membuat TPA di Pulau pun mendominasi. Ide itu didukung banyak pihak. Pemerintah Singapura mulai merencanakan penggabungan dua pulau untuk pembangunan TPA.
Pulau yang direncanakan digabung itu adalah Pulau Semakau dan Pulau Sekang. Biaya sebanyak 360 juta dolar AS digelontorkan. Pembangunan pun berlangsung dari 1994 dan mulai aktif beroperasi pada 1999. Pemerintah pun menamakan tempat pembuangan itu dengan nama TPA Semakau.
BACA JUGA:
Operasi TPA Semakau lalu jadi tulang punggung pengelolaan sampah Singapura. Limbah-limbah pembakaran sampah jadi bagian dari peluasan daratan. Pemerintah lalu mempensiunkan TPA Lorong Halus.
“Di TPA Semakau juga terdapat pelabuhan sampah seperti TMTS (Tuas Marine Tranfer Station) yang berfungsi sebagai tempat pembongkaran sampah dari kapal. Limbah padat dari kapal tongkang dibongkar dengan ekskavator dan dimasukan ke dalam truk berkapasitas 35 ton untuk dibawa ke area landfill.”
“Di area tersebut limbah padat dibongkar, kemudian diratakan dan dipadatkan dengan buldozer. TPA Semakau mulai resmi digunakan pada 1 April 1999 untuk menampung seluruh sampah Singapura yaitu sampah non-incinerable dan abu dari empat incinerator yang beroperasi di Singapura,” tulis Sri Wahyono dalam tulisannya di Jurnal Teknologi Lingkungan BPPT berjudul Penerapan Teknologi Tinggi Untuk Pengelolaan Limbah Padat Di Singapura (2004).
Pro dan Kontra
Kehadiran TPA Semakau membawa angin segar bagi Singapura. Negara itu jadi negeri terbersih di Asia. Semuanya itu karena pemerintah Singapura gencar dalam mengumpulkan sampah, dari lokasi pemukiman, pasar, daerah komersial, perkantoran, jalan, dan taman kota.
Sampah yang dikumpulkan lalu diarahkan ke empat buah pusat pembakaran incinerator yang beroperasi di Singapura. Tuas, Senoko, Tuas South dan Keppel Seghers Tuas. Hasil pembakaran itu dibawa dengan tongkang ke TPA Semakau. Luas TPA Semakau luar biasa besar mencapai 350 hektar.
TPST Bantar Gebang di Bekasi, Indonesia saja hanya memiliki luas 117,5 hektar. Daya tampung limbah sampah di TPA Semakau diprediksi mencapai 30-40 tahun. Mereka yang mendukung kehadiran TPA Semakau cukup banyak.
Pemerintah Singapura dianggap mampu menjaga supaya limbah sampah tak merusak ekosistem. Kondisi itu dibuktikan dengan terjaga keanekaragaman hayati. Banyak di antara flora dan fauna hidup di sekitar TPA Semakau. Pun tak sedikit pula wisatawan yang sengaja datang untuk berwisata ke Pulau Semakau.
Namun, tak sedikit pula yang melemparkan kritik terhadap hadirnya TPA Semakau dan teknologi incinerator. Beberapa aktivis lingkungan menganggap pemerintah Singapura justru membawa masalah baru. Teknologi itu dianggap hanya memindahkan masalah sampah jadi masalah polusi.
“Greenpeace menentang pembakaran sampah karena merupakan sumber utama zat karsinogenik seperti dioksin. Pun polutan berbahaya lainnya seperti merkuri dan senyawa organik yang mudah menguap,”
“Penimbunan dan pembakaran sampah merupakan teknik utama di seluruh negara Asia Tenggara. Namun, praktik pembuangan limbah seperti itu telah menimbulkan masalah sosial dan lingkungan di masyarakat kita,” kata Direktur Kampanye Greenpeace untuk Asia Tenggara, Tara Buakamsri dikutip Lindsey Hoshaw dalam tulisannya di laman The New York Times berjudul Refuse Collects Here, but Visitors and Wildlife Can Breathe Free (2011).