Bagikan:

JAKARTA - Perang Badar merupakan peristiwa besar bagi umat Islam. Peristiwa itu dianggap sebagai titik permulaan agama baru ini dikenal banyak orang, khususnya di Jazirah Arab. Namun, bak pisau bermata dua, kata 'perang' menjadi semakin lekat disandingkan dengan Islam. Padahal sejatinya, Islam bukan agama perang.  

Mengutip National Geographic, hari ini, 13 Maret abad 6 atau tahun 624, Nabi Muhammad memimpin umat Islam dalam perang Badar. Perang ini menjadi peristiwa besar karena selain menjadi perang pertama, dalam perang ini terjadi banyak aksi heroik. 

Bertahun-tahun sebelum perang, Nabi Muhammad bersama umat Islam mengalami sebuah peristiwa yang disebut hijrah. Mereka meninggalkan tempat kelahirannya, Makkah ke sebuah kota yang jaraknya hampir 500 kilometer yakni Madinah. 

Menurut Rizem Aizid dalam The Great Sahaba (2018) kepindahan kaum muslimin ke Madinah adalah karena "selalu dianiaya oleh kaum musyrikin (orang-orang Quraisy yang anti Islam)" tulis Aizid. 

Kepindahan umat Islam ke Madinah membuat agama baru itu semakin banyak pengikut dan semakin kuat dari segi ekonomi. Hal itu lantas memunculkan sentimen dari warga Makkah yang anti Islam. Ada upaya memboikot ekonomi kaum muslimin yang hendak berdagang. Akibatnya bentrok antara kaum muslimin dengan pedagang Quraisy sering terjadi di jalur perdagangan Madinah yang mencakup tempat pemberhentian di lembah Badr. 

Puncak dari konfrontasi tersebut kemudian terjadi saat 2 tahun pasca-hijrah. Saat itu sekitar 300 kaum muslimin yang langsung dipimpin Nabi Muhammad bergerak ke lembah Badr yang disambut sekitar 1.000 pasukan anti Islam Makkah. Pertempuran tak dapat dihindari. Namun, meski dari sisi jumlah kalah telah, pasukan umat Islam memenangkan perang yang terjadi pada 17 bulan Ramadan tersebut.

Menurut Aizid (2018) kemenangan kaum muslimin memberikan dua efek bagi Islam. Pertama, Islam menjadi sebuah agama baru yang eksistensinya mulai diakui. Dan kedua, Islam semakin dibenci oleh golongan kaum anti-Islam Makkah.

Perang adalah jalan terakhir

Perang badar memang menjadi peristiwa besar bagi umat Islam. Perang besar pertama bagi umat Islam ini juga bertepatan dengan momentum Nuzulul Quran yakni peristiwa diturunkannya Alquran ke bumi. Namun, sekali lagi, sejatinya Islam bukanlah agama perang.

Dalam Islam, menurut Cendikiawan Muda Habib Husein Ja'far Al Hadar, perang adalah jalan terakhir untuk memerangi kezaliman. Hal itu dilakukan untuk melawan orang yang memerangi umat Islam. 

Ketika ada orang yang berusaha memerangi kaum muslimin, "Maka umat Islam memerangi balik untuk kemudian menghentikan mereka dalam menzalimi umat Islam. Bukan untuk menguasai, apalagi menyebarkan agama Islam. Tidak," kata Husein ketika diwawancarai Era in Podcast.  

Ilustrasi Perang Badar (asia.si.edu)

Menurut Husein, langkah pertama yang harus dilakukan untuk menyelesaikan masalah perselisihan yakni dengan mencari titik-titik perdamaian. Salah satunya dengan suro (musyawarah). 

Ketika musyawarah tak mencapai titik temu, maka langkah selanjutnya yakni melakukan perjanjian. Misalnya untuk tidak melakukan peperangan, dan kemudian tidak saling menyakiti. Setelah cara itu tak mempan sama sekali, "baru dengan perang, namun dengan landasan cinta kasih dan selalu siap untuk mengampuni." 

Apalagi dalam konteks perang Badar yang terjadi pada bulan Ramadan malah menimbulkan banyak pertanyaan. Bukankah dalam Islam apalagi saat bulan puasa, jangankan perang, marah saja tidak boleh? 

Husein punya jawabannya. Menurut dia, dalam Islam, ada landasan penting dalam perang yakni landasan cinta kasih. 

"Artinya, perang itu tidak dilakukan, pertama dengan nafsu, bukan karena kemarahan, bukan karena kebencian. tapi perang harus berlandaskan kepada latar belakang yang suci dan cinta kasih," kata Husein. 

Karena itu, dalam bulan Ramadan yang diasosiasikan dengan bulan yang penuh ampunan, artinya betapa pun umat Islam perang, namun pintu ampunan mereka kepada musuh sudah seharusnya dibuka selebar-lebarnya. "Jadi begitu mereka meminta maaf, tidak lagi melakukan kejahatan, maka kita harus saat itu juga mengampuni mereka," kata Husein. 

Selain itu, peraturan perang dalam Islam yang merupakan langkah terakhir itu sangat ketat. Husein menjelaskan dalam aturan perang Islam, selain tidak boleh membunuh anak-anak dan wanita, mereka juga tidak boleh membunuh hewan bahkan tumbuhan. Kemudian juga tidak boleh menghancurkan rumah ibadah umat agama lain. "Dan membunuh tokoh agama lain," kata Husein. 

Hal itu menjelaskan bahwa perang bukan untuk menyebarkan agama. Dan malah mencerminkan nilai toleransi, bagaimana saat perang tidak boleh menghancurkan rumah ibadah agama lain. 

Menurut Husein, tak sedikit yang menganggap Islam sebagai agama perang. Padahal menurutnya, jika melihat rekam jejak nabi, dari total masa kenabiannya yakni 23 tahun atau sekitar delapan ribu hari. Yang digunakan untuk perang hanya sekitar 1 persen atau 80 hari untuk berperang. 

"Selebihnya 99 persen hidupnya nabi itu dua: menegakkan perdamaian menjadi rahmat, yang kedua adalah menjadi seorang yang berkepribadian dan bermoral tinggi kepada orang lain, yang disebut akhlak," pungkasnya.