Bagikan:

JAKARTA - Kemarin, Selasa 10 Maret, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD berharap punya yayasan seperti Supersemar. Yayasan itu berguna untuk membantu dunia pendidikan. Namun, Yayasan Supersemar, yang dibentuk Presiden kedua RI Soeharto, tersangkut kasus korupsi.  

Yayasan Supersemar dibentuk pada 16 Mei 1974. Yayasan ini punya tujuan mulia, membantu beasiswa pelajar untuk keluarga tak mampu. Dananya didapat dari hasil setoran bank-bank pelat merah yang dilegitimasi Peraturan Pemerintah Nomor 15 tahun 1976 tentang Penetapan Penggunaan Sisa Laba Bersih Bank-Bank Milik Pemerintah, dan SK Kementerian Keuangan yang isinya 50 persen dari 5 persen sisa laba bersih bank pelat merah disetor ke rekening Yayasan Supersemar. 

Mengutip Tempo edisi 1 Oktober 2007, yayasan tersebut meraup dana 420 dolar AS (sekitar Rp 3,78 triliun), dan Rp185,9 miliar. Namun dalam praktiknya, dana yang sudah terkumpul itu diselewengkan. Menurut jaksa, dana itu tersebut justru mengalir ke sejumlah perusahaan keluarga dan kroni Soeharto. 

Karena masalah itu Soeharto dan Yayasan Beasiswa Supersemar digugat. Ia diminta ganti rugi material sebesar yang diterima, yaitu 420 juta dolar AS dan Rp185,9 miliar. Selain itu, kejaksaan juga menuntut ganti rugi immaterial sebesar Rp10 triliun yang dihitung akibat pemakaian dana yang menyimpang. 

Namun pada 27 Maret 2008, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang diketuai Wahjono menyatakan, Soeharto tak bersalah karena telah mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada pengurus Yayasan. Gugatan kemudian dilimpahkan ke Yayasan Supersemar. Mereka diwajibkan membayar ganti rugi 25 persen dari tuntutan yang diajukan pemerintah yakni 105 juta dolar AS dan Rp46 miliar. 

Namun sejak putusan pengadilan negeri hingga pengadilan banding keluar, Yayasan tak mau membayar ganti rugi tersebut. Mereka berkukuh tak bersalah dan mengaku tak punya uang dan aset juga.

Uang mengalir ke kroni Soeharto

Yayasan Supersemar banyak membantu banyak untuk biaya pendidikan. Mengutip Tempo edisi 27 April 2009, Kepala Bagian Humus dan Protokol Yayasan Supersemar bilang, dana yang digunakan Yayasan untuk beasiswa sampai tahun 2008 lebih dari Rp500 miliar.

Menurut kejaksaan, yayasan melakukan penyimpangan karena mengucurkan dana ke PT Bank Duta sebanyak 419,9 juta (September 1990), PT Sempati Air milik Tommy Soeharto sebesar Rp 13 miliar (1989-1997), PT Kiani Lestari dan Kiani Sakti milik Bob Hassan Rp 150 miliar, PT Kalhold Utama, Essam Timber, dan PT Tanjung Redep Hutan Tanaman Industri Rp 12,74 miliar (1982 hingga Mei 1993), Kelompok Usaha Kosgoro Rp 10 miliar (Desember 1993). 

Kasus supersemar terus bergulir sampai angin segar mulai muncul pada 2010. MA akhirnya memperkuat putusan PN Jaksel yang sebelumnya sudah diperkuat Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang menyatakan Yayasan Supersemar telah melakukan perbuatan melawan hukum. Namun, ada salah ketik dalam penulisan putusan, yang seharusnya Rp185 miliar tertulis Rp185 juta. Karena itu putusan tak bisa segera dieksekusi. 

Pada 2013 terjadi adu Peninjauan Kembali antara Kejaksaan Agung dan Yayasan Supersemar ke Mahkamah Agung (MA). Namun pada 2015, akhirnya MA memenangkan PK Jaksa Kejagung, dan menolak PK yang diajukan Yayasan Supersemar. Dalam putusan itu dinyatakan bahwa keluarga Soeharto diwajibkan membayar ganti rugi senilai Rp4,4 triliun kepada negara. 

Tiga tahun kemudian, Kejagung mulai mengeksekusi aset sitaan dari Yayasan Supersemar. Seperti diwartakan kompas.com, aset yang disita tersebut antara lain vila di Mega Mendung, Bogor dan Gedung Granadi di Jakarta Selatan. Selain itu, Kejagung juga menyita 113 rekening milik Yayasan Supersemar oleh tim eksekutor Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk menutupi kerugian negara. 

Kejagung melakukan investigasi ases dengan menggandeng Pusat Pemulihan Aset (PPA) untuk membuuru seluruh aset atas nama Yayasan Supersemar baik yang ada di dalam maupun luar negeri. Mereka masih akan terus menyita aset-aset supersemar sampai memenuhi target kerugian negara sebesar Rp4,4 triliun.