JAKARTA - Bagi orang Korea, kimchi adalah bentuk identitas. Kimchi adalah makanan paling kesohor di Semenanjung Korea. Cita rasa asam dan pedasnya selalu hadir dalam acara santap makan orang Korea sejak dulu kala. Sulit membayangkan orang Korea tanpa kimchi. Sekali saja Kimchi langka di pasaran, gejolak ekonomi akan menghampiri Korea. Sebab, Kimchi tak cuma sekadar makanan sehat. Kimchi adalah warisan budaya yang tak ternilai harganya.
Dalam sejarahnya, makanan terbuat dari sayur-sayuran yang difermentasi itu sudah hadir di Korea lebih dari tiga ribu tahun lalu. Kimchi pun disebut-sebut sudah ada sedari awal berdirinya tiga kerajaan besar di Korea: Goguryeo, Baekje dan Silla.
Pada masa itu, orang Korea gemar mengawetkan makanan untuk persediaan musim dingin. Lalu muncul ide untuk menggunakan garam dalam mengawetkan makanan dan sayuran supaya dapat bertahan selama musim dingin.
Akan tetapi, kimchi bentuk sayurannya belum didominasi oleh warna merah. Kimchi masih dikenal dengan wujud sayuran kuning keemasan. Dikutip dari Robert Ji-Song Ku dalam buku Dubious Gastronomy: The Cultural Politics of Eating Asian in the USA (2014) menyebut hal itu tak lain karena cabai yang menjadi ciri khas kimchi kekinian belum masuk Korea. Karenanya, bahan utama kimchi masih berkutat pada lada hitam, bawang putih, jahe, dan bumbu yang memiliki wangi tajam.
“Pada umumnya diakui bahwa cabai memasuki Korea melalui Jepang, beberapa waktu setelah serangan Hideyoshi pada akhir abad 16. Cabai disebut paling awal dalam dokumen Korea pada tahun 1613. Dokumen tersebut menyebut cabai sebagai ‘sayuran yang sangat beracun.’ Namun, lama-lama orang Korea mulai menyukai cita rasa pedas. Dokumen itu juga menulis bahwa makanan yang mengandung cabai kebanyakan adalah makanan rumah termasuk kimchi,” ungkap Robert.
Kehadiran cabai di dalam pembuatan kimchi memunculkan label: kimchi makanannya orang Korea. Cabai pun menjelma menjadi komponen penting dalam masakan Korea lainnya. Lama-kelaman, kimchi memiliki ragam variasi dan jenis. Tercatat, hingga saat ini kimchi telah memiliki ratusan variasi. Meski begitu, cita rasa yang dimiliki masing-masing variasi kimchi berbeda-beda. Orang-orang pada umumnya hanya mengenal kimchi bercita rasa pedas dan tidak terlalu pedas.
Lebih lengkap lagi, seorang ahli gizi dari Universitas Nasional Busan, Kun Young-Park mengungkap kimchi dapat dikategorikan ke dalam dua golongan besar. Pertama, kimchi yang biasanya ditambahkan air. Kedua, kimchi yang tidak ditambahkan air.
Kimchi yang tidak ditambahkan air adahal sejenis kimchi kering yang terdiri dari baechu kimchi, kaktugi kimchi, chongkak kimchi, dan yeolmoo kimchi. Kimchi yang tidak ditambah air rasanya lebih asin, lebih asam, dan lebih pedas. Kimchi yang ditambah air biasa disebut mool kimchi yang terdiri atas baik kimchi dan dongchimi kimchi. Rasa kimchi yang ditambah air lebih moderat dengan rasa asin, asam, dan pedas dengan kategori sedang.
“Hidangan tradisional Korea terasa tidak lengkap tanpa kimchi, campuran dari berbagai asinan sayur seperti sawi putih, lobak, daun bawang dan timun. Ada kimchi tertentu yang dibuat pedas dengan penambahan bubuk cabe merah, sementara kimchi lain tidak diberi cabe merah atau direndam dalam cairan sedap. Tetapi apapun kimchinya, untuk memberikan kaya rasa haruslah ada bawang putih,” ditulis dalam buku Korea: Dulu & Sekarang terbitan Layanan Informasi dan Kebudayaan Korea Selatan tahun 2012.
Sumber keuntungan Korea Selatan
Kimchi makin dikenal dunia semenjak tahun 1990-an. Kala itu, industri hiburan Korea Selatan begitu naik daun. Budaya, makanan dan industri hiburan Korea Selatan lalu menginvasi dunia, termasuk Indonesia. Istilah ini dikenal dengan "Korean wave." Lebih lengkap kami pernah mengulas terkait Korean wave dalam tulisan “Akar Sejarah Drama Korea: Invasi dari Panggung Teater Topeng Klasik”.
Semenjak saat itu, kimchi dibungkus secara apik sebagai produk andalan wisata Korea Selatan. Seperti yang disudah diramalkan oleh empunya kebijakan, kimchi membawakan keuntungan yang besar. Serta menjadi andalan dalam mendatangkan pelancong dari luar negeri. Belum lagi, kalau menghitung ekspor kimchi Korea ke seluruh dunia. Yang mana, nilainya dapat mencapai jutaan dolar setiap tahun.
“Percaya atau tidak, seperti harga BBM, gejolak pada pasokan kimchi, bisa menimbulkan pula gejolak pada ekonomi Korea. Pada 2010 lalu, pernah terjadi krisis kimchi di Korea Selatan. Saat itu hasil panen sawi putih tidak bagus, ditambah lagi harga bubuk cabai meningkat karena krisis global. Akibatnya, harga kimchi melonjak drastis, yang pada gilirannya meningkatkan inflasi di Korea Selatan. Hal ini hampir menimbulkan ketidakstabilan pada ekonomi Korea. Demi mendapatkan kimchi, di beberapa kota terjadi pencurian atau penimbunan stok sawi putih,” cerita Junanto Herdiawan dalam buku Shocking Korea (2013).
Makanan sehat
Bahan-bahan dasar pembuatan kimchi pun diakui mengandung kompenen aktif yang berkhasiat tinggi. Ambil contoh komponen Karotenoid dan bioflavonoid yang berasal dari sawi putih, bawang daun, wortel, dan bubuk cabai merah.
Faisal Anwar dan Ali Khomsan dalam buku Makanan Tepat Badan Sehat (2009), menyebut Kedua kandungan tersebut nyatanya dapat berfungsi sebagai antioksidan yang mampu memusnahkan radikal bebas. Yang Mana, radikal bebas penyebab timbulnya kanker.
BACA JUGA:
Tak hanya itu, capsaicin yang terdapat pada bubuk cabai dapat menghambat pertumbuhan sel kanker. Pun hal yang sama hadir pada gingerol yang ada pada jahe.
Komponen itu dapat menghambat pertumbuhan mikroba dan juga berfungsi sebagai antikanker. Bahkan kimchi pernah digadang-gadang sebagai ‘superfood’ yang dapat mencegah orang yang terinfeksi virus H5N1 dan virus SARS.
“Salah satu hasil penelitian dari Universitas Nasional Seoul mengklaim bahwa ayam yang terinfeksi dengan virus H5N1, atau dikenal sebagai flu burung pulih setelah makan makanan yang mengandung bakteri yang sejenis yang terdapat dalam Kimchi. Pada waktu penyakit SARS mewabah di Asia pada tahun 2003, banyak orang yakin bahwa Kimchi dapat memberikan perlindungan melawan infeksi, sekalipun belum ada bukti ilmiah yang mendukung pendapat ini,” tutup Wignyanto dan Nur Hidayat dalam buku Bioindustri (2017).