JAKARTA - “Kita membangun tugu nasional untuk kebesaran bangsa. Saya harap seluruh bangsa Indonesia membantu pembangunan Tugu Nasional itu.” Itulah isi surat dari Presiden Pertama Indonesia Soekarno tertanggal 29 juli 1963 yang ditujukan kepada seluruh bangsa Indonesia.
Surat itu membuat khalayak sepakat bahwa Soekarno adalah orang yang menggagas tugu nasional atau yang lebih dikenal dengan Monumen Nasional (Monas). Bentuk Monas yang menjulang tinggi terinspirasi dari Menara Eiffel di Paris, Prancis.
BACA JUGA:
Tujuan awalnya, Monas dibangun sebagai identitas dan mercusuar perjuangan bangsa. Gagasan awal pembangunan Monas pun sudah melekat di benak Soekarno sejak ia kembali memegang kendali Jakarta. Sebelum itu, Soekarno berdinas di Istana Kepresidenan Gedung Agung, Yogyakarta.
Langkah membangun identitas bangsa pun dimulai dengan pembentukan Komite Nasional pada tanggal 17 Agustus 1954. Saat itu, Sarwoko Martokusumo jadi ketua. Ada pesan penting yang Soekarno sampaikan kepada Sarwoko.
BACA JUGA:
Pesan itu adalah agar Monas dibangun di Lapangan Merdeka yang berada tepat di depan Istana Merdeka, Jakarta. Dengan begitu, Monas jadi simbol kemegahan yang menyambut para tamu Istana. Bagi Soekarno sendiri, Monas adalah lambang kebesaran orang-orang Indonesia.
"Yes, the Indonesian people are great people. Yes, the Indonesian people are becoming a great people again," kata Soekarno dalam sebuah pidaatonya.
Sayembara
Pembangunan Monas adalah kerja banyak anak bangsa. Desain Monas diambil lewat sebuah sayembara yang mulai digelar pada 17 Agustus 1955. Sayembara itu berhasil mengumpulkan 51 karya. Namun, karya arsitek Frederich Silaban jadi yang terpilih karena dinilai paling kuat menerjemahkan pesan karakter bangsa Indonesia.
Namun, Sang Presiden adalah arsitek. Ia tak mudah dipuaskan. Sayembara gelombang kedua pun digelar. Dibuka sejak 10 hingga 15 Mei 1960, sayembara berhasil menarik minat 222 orang dengan total karya 136. Dari sekian banyak karya, tak ada satu pun yang menandingi karya Frederich Silaban. Pembangunan pun dimulai kala seorang arsitek bernama R.M. Soedarsono ditunjuk sebagai kolaborator Silaban. Tugas Soedarsono adalah menyelaraskan desain Monas sesuai keinginan Soekarno.
Dikutip dari Historia, pembangunan pun dimulai dengan disepakatinya pembangunan tugu (lingga) setinggi 111,70 meter di atas pelataran berbentuk persegi empat setinggi 17 meter. Di dalam bangunan terdapat sebuah museum dengan ketinggian 8 meter. Secara simbolis, angka 17-8-45 tersebut merujuk pada hari dimana Indonesia merdeka. Dan itulah yang disukai Bung Karno.
Adanya museum sejarah di dalam monas merupakan harapan dari Bung Karno sendiri supaya siapa pun rakyat Indonesia yang masuk dapat memahami jati dirinya sebagai bangsa Indonesia. Kesan itu diperkuat oleh Monas yang dibangun atas kehendak dan uang rakyat yang dikumpulkan lewat sumbangan rakyat, pengusaha, hingga sumbangan dari karcis bioskop.
“Tidak saya bangunkan dengan satu sen pun daripada budget negara” kata Soekarno.
Monas hari ini
Dibangun di zaman Soekarno, Monas diresmikan justru oleh Presiden Soeharto tanggal 12 Juli 1975. Statistik mencatat, Monas dibangun oleh seorang penggagas dan dua arsitek lewat enam tahun rembuk gagasan serta 14 tahun pembangunan fisik.
Tujuan Soekarno menjadikan Monas simbol kekaguman berbuah. Kala itu, Monas jadi agenda wajib dalam kunjungan turis dan tamu-tamu mancanegara. Ada yang berkunjung ke Monas sebagai medium edukasi sejarah atau yang memanfaatkan kunjungan ke Monas sebagai sarana rekreasi. Monas kala itu adalah lokasi sejuk dengan banyak pohon rindang yang mengelilinginya.
Kondisi itu segera berubah. Saat ini, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta tengah melakukan revitalisasi kawasan Monas. Pemprov berencana membangun Plaza Selatan Monas dan memanfaatkannya sebagai ruang terbuka yang menampung kegiatan pemerintahan, baik pusat atau pun daerah. Sayang, proyek revitalisasi ini telah menebang setidaknya 190 pohon.
Masyarakat memprotes langkah Pemprov DKI itu. WALHI Jakarta mengkritisi langkah Pemprov DKI sebagai cerminan bahwa pemerintahan Anies masih jauh dari keberpihakan pada aspek lingkungan.
BACA JUGA:
“Harusnya Pemprov itu menambah RTH bukan malah menebang pohon. Sikap Pemprov ini menunjukkan mereka masih belum berpihak pada lingkungan hidup dan cenderung menganggap enteng persoalan lingkungan," kata Direktur WALHI Tubagus Soleh Ahmadi kepada VOI, Jumat, 24 Januari 2019.
Barangkali, mengingat tujuan pembangunan Monas tidak saja digaungkan kepada rakyat. Pemerintah sebagai penyelenggara negara rasanya perlu lebih keras mengingat kenapa pendiri bangsa membangun Monas dengan keagungan dan keselarasan pada kehidupan.